Karena itu tadi, pengaruh budaya Jawa, sebagai contoh, gampang ditemui dalam kepemimpinan di pemerintahan atau bahkan juga di organisasi masyarakat.
Makanya, cara melontarkan suatu pendapat, apalagi yang bersifat kritik, menjadi penting. Jangan sampai kritik dipahami orang lain sebagai menghina, meghujat atau melakukan ujaran kebencian.
Secara umum, bangsa Indonesia mempunyai tata krama yang harus diikuti masyarakat.Â
Namun, jika diperbandingkan antar suku, meskipun tidak merupakan hasil penelitian, terlihat etnis Jawa tingkatan tata kramanya relatif lebih tinggi.
Dalam kultur Jawa, bukan hanya hormat kepada pemimpin, ke orang yang lebih tua saja tak bisa bersikap sembarangan.
Tradisi sungkeman kepada orang tua atau menghormat sambil sedikit membungkuk dan posisi tangan yang ngapurancang (di bawah pusar) kepada atasan di kantor, hal yang lazim dalam budaya Jawa.
Kembali ke soal demokrasi, tentu sebaiknya kita lakukan dengan tidak melupakan tata krama dan sopan santun sesuai yang diajarkan nenek moyang kita.
Jauh sebelum prinsip demokrasi kita terapkan, di masing-masing daerah atau masing-masing suku, sudah punya filosofi kepemimpinan yang sesuai dengan adat setempat atau sesuai dengan kearifan lokal.
Hanya saja, perlu diingat, ada berbagai variasi kearifan lokal yang jika tidak dipahami, bisa menimbulkan salah persepsi.
Sebagai contoh, dalam tulisan ini disajikan kearifan lokal versi Jawa dan versi Minang, khususnya yang berkaitan dengan hubungan atasan-bawahan atau pemimpin dan anggotanya.Â
Hal ini perlu diperhatikan agar dalam suatu interaski antar etnis yang berbeda, baik di suatu perusahaan, instansi, atau organisasi, bisa berjalan mulus.