Keinginan saya untuk merasakan atmosfer belajar di luar negeri akhirnya kesampaian juga (antara lain di Australia, Singapura, Hongkong, Jepang, Inggris dan AS), meskipun hanya untuk pelatihan singkat dengan durasi yang bervariasi dari satu minggu hingga yang terlama 3 bulan.
Poin saya adalah, ketika pada satu titik, kegagalan menghampiri kita, boleh-boleh saja kita merasa terpuruk. Namun, segera sadar bahwa kesempatan untuk maju masih terbentang luas. Tempuhlah jalur lain, yang penting tetap sampai ke tujuan. Toh, banyak jalan menuju Roma.
Hal lain yang menjadi catatan saya, meskipun nama besar lembaga pendidikan tempat seseorang belajar punya "nilai jual", pada akhirnya yang menentukan adalah ketangguhan individu sewaktu terjun di lapangan.
Jadi, bagi lulusan dari daerah dan dari lembaga pendidikan yang relatif tidak dikenal, jangan langsung ciut nyalinya untuk bersaing dengan lulusan luar negeri sekalipun.
Sebetulnya, saya memasang target hidup yang tidak tinggi. Hal ini mungkin mengingat saya berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang sangat terbatas. Saya tidak silau dengan teman-teman yang baru 3 tahun bekerja sudah mampu membeli mobil.
Tapi, tentu cita-cita harus digantungkan setinggi langit. Maka, dalam meniti karier, saya sengaja memasang tiga jenis target, yakni versi tinggi, versi moderat, dan versi rendah.
Sengaja saya membuat tiga versi agar tidak membaut saya merasa terpuruk bila tertinggal dari teman-teman. Bisa finish (maksudnya memasuki pensiun) dengan selamat tanpa sekalipun pernah terkena hukuman jabatan, sudah saya syukuri.
Soalnya ada dua teman saya satu angkatan yang dipecat gara-gara perbuatannya yang merugikan perusahaan atau mencemarkan reputasi perusahaan. Jadi, kalaupun kita tidak berprestasi tinggi, minimal jangan jadi perusak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H