Seperti pernah saya tulis di  sini, saya menemukan jalan untuk mencuri perhatian para petinggi di tempat saya bekerja dengan menulis opini yang berhasil dimuat di media cetak nasional.
Opini tersebut sengaja saya buat yang berkaitan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan bidang pekerjaan saya di kantor. Saya juga aktif menulis di majalah internal perusahaan tempat saya bekerja.
Kemudian, semangat saya juga terlecut dalam berbagai kesempatan pendidikan internal yang diselenggarakan  oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) di BUMN tempat saya mengabdi.
Saya berhasil meraih peringkat satu pada pendidikan kedinasan sebagai syarat untuk promosi dari staf senior menjadi manajer. Tentu ini menjadi credit point dalam portofolio saya di database kepegawaian.
Hal yang juga sangat saya syukuri, pada tahun 1997, pertama kalinya direksi perusahaan membuat program pengiriman karyawan mengikuti program magister manajemen di PTN papan atas di dalam negeri.
Saya tertarik untuk mendaftar karena secara umur saya masih memenuhi syarat (belum melewati usia maksimum yang diperkenankan). Sama seperti yang ke luar negeri, terlebih dahulu karyawan yang berminat dites TPA dan TOEFL-nya. Hanya, passing grade untuk TOEFL sedikit lebih rendah.
Alhamdulillah, saya berhasil lolos seleksi, meskipun persentase yang lolos sangat kecil dibandingkan keseluruhan karyawan yang dites. Dua tahun setelah itu saya telah berhak mencantumkan gelar MM di belakang nama saya.
Tidak begitu jelas, apakah pihak manajemen memberikan perlakuan yang berbeda, misalnya karyawan dengan gelar MBA dari luar negeri dinilai lebih tinggi ketimbang MM seperti saya. Tapi, saya semakin percaya diri bila adu argumen dengan teman-teman yang bergelar MBA.
Rasa percaya diri saya itu saya perlihatkan ketika ikut lagi pada program pendidikan kedinasan (ketika itu menjadi kewajiban sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan eselon 2, sekarang kewajiban seperti itu sudah dihapus).Â
Pengajar pendidikan tersebut banyak yang didatangkan dari luar perusahaan, sehingga menurut saya penilaiannya lebih objektif. Contoh yang menjadi pengajar adalah sejumlah pejabat tinggi Bank Indonesia, guru besar dari Universitas Indonesia, dan nama-nama profesional yang terkenal di level nasional.
Di kelas yang saya ikuti tersebut, saya satu kelas dengan 8 orang S2 dari luar negeri dan sebagian besar adalah senior saya. Pada penutupan pendidikan, saya diumumkan sebagai peraih peringkat 2. Inilah bukti produk pendidikan dalam negeri juga bisa bersaing.