Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengerjakan yang Disukai atau Menyukai yang Dikerjakan?

30 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 2 Februari 2021   05:52 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang namanya anak buah, tentu banyak tidak enaknya, kecuali saat menerima gaji. Itu pun kalau gajinya relatif kecil, harus ikhlas dipotong untuk membayar pinjaman di koperasi kantor atau di bank dengan menjaminkan surat keputusan (SK) sebagai pegawai dari suatu instansi atau perusahaan.

Tapi, mengingat betapa susahnya untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi di saat pandemi Covid-19 ini sangat banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maka pada dasarnya, menjadi anak buah itu harus dienak-enakkan.

Jangan mengira yang namaya anak buah itu pegawai level paling rendah saja. Pada prinsipnya, di sebuah perusahaan, selain direktur utama, semuanya adalah anak buah, dalam arti semua punya atasan. 

Dengan demikian, selain direktur utama (yang tak punya atasan) dan pegawai level terbawah (yang tak punya bawahan), maka semuanya selalu berinteraksi dengan tiga kelompok pegawai di tempat mereka bekerja, yaitu bosses, peers, dan subordinates (atasan, rekan selevel, dan bawahan). Semuanya perlu dikelola dengan baik agar bisa bekerja dengan nyaman.

Barangkali mengatur bawahan relatif lebih gampang, mengatur rekan satu level bisa dikatakan gampang-gampang susah, sedangkan mengatur atasan merupakan sesuatu yang sangat sulit, bahkan malah tidak mungkin. 

Jadi, nyaman tidaknya seseorang saat bekerja, salah satunya tergantung pada tipe bos yang mesti dilayaninya. Bila kebetulan punya bos yang baik hati, mau mendengarkan saran bawahan, tidak gampang emosi, suka mentraktir, memberikan instruksi secara jelas, dan berabagai sifat positif lainnya, maka itulah kondisi yang diimpikan.

Biasanya bos seperti itu, saat harus dimutasikan atau dipromosikan ke tempat lain, anak buah akan bersedih. Ketika acara perpisahan meraka melepas bosnya dengan berlinang air mata.

Sebaliknya, bila kebetulan punya bos yang sering memberikan perintah tidak mengenal waktu, perintahnya bertubi-tubi dan semuanya harus selesai cepat, sering marah-marah, pelit, dan berbagai sifat negatif lainnya, semua anak buah bagai merasa di "neraka". Waktu perpisahan, semua akan mengucap syukur, malah ada yang memotong kambing.

Masalahnya, para karyawan tentu tidak bisa memilih-milih bos yang disukainya dan mereka terpaksa menyerahkan pada faktor nasib saja. Terlepas dari itu, bagi karyawan yang bekerja pada bidang atau perusahaan yang disukainya, biasanya bisa menikmati pekerjaan tersebut, malah seperti melakukan hobinya saja.

Makanya, sangatlah beruntung seseorang yang mendapatkan pekerjaan sesuai passion, yang betul-betul menjadi panggilan jiwanya. Inilah kondisi ideal sehingga mereka yang meraihnya serasa tidak bekerja, tapi melakukan sesuatu yang menyenangkan, tanpa merasa dibebani.

Tapi, seperti yang telah disinggung di atas, tidak hanya sekarang, jauh sebelum bencana pandemi pun, mencari pekerjaan sangat tidak gampang. Terlalu banyak alumni perguruan tinggi yang berburu pekerjaan, apalagi bila ditambah mereka yang tidak kuliah. Di lain pihak, lowongan pekerjaan yang tersedia sangat terbatas.

Jangan heran, hingga sekarang, masalah pengangguran dan penciptaan lapangan kerja, masih jadi problem besar di negara kita. Inilah yang biasanya laku sebagai "jualan" saat kampanye pilpres dan pilkada. Namun, pidato yang indah saat kampanye, menjadi sulit saat direalisasi.

Maka, jika seseorang mendapat pekerjaan, meskipun bukan di bidang yang disukainya, wajib disyukuri. Jika  sudah dimulai dengan rasa syukur, upayakan untuk menyukai, bahkan kalau bisa mencintai pekerjaan tersebut.

dok. diataspelangi.com
dok. diataspelangi.com
Caranya? Buka pikiran selebar-lebarnya dan temukan sisi baiknya agar kita "jatuh cinta" dengan tugas-tugas yang kita emban. Ketemu bos yang galak, syukuri saja, anggap sebagai ujian mental, latihan yang baik untuk membangun pengendalian emosi.

Ketemu bos yang bertubi-buti memberikan pekerjaan, sementara teman lain malah tidak diminta mengerjakannya, itu malah pertanda kita dipercaya bos. Dengan sering mendapat tugas, bukankah kita semakin menguasai pekerjaan? Dengan demikian, ada harapan besar untuk mendapat promosi.

Ketemu bos yang cuek dan tahunya hanya menagih hasil pekerjaan, itu pun sebaiknya disyukuri. Itu artinya kreativitas kita ditantang agar mampu menerjemahkan perintah bos. Jika kreativitas kita tidak memenuhi harapan bos, tinggal kita buat lagi. Apakah yang terlanjur dibuat jadi sia-sia? Tidak juga, bukankah kita jadi tahu selera si bos tentang apa yang tidak disukainya?

Intinya, jika tidak mendapatkan pekerjaan yang kita sukai, ya, berusahalah menyukai pekerjaan yang telah kita genggam. Bila bekerja dilakukan dengan sepenuh hati berdasarkan rasa suka, segalanya akan jadi mudah.

Tentu bagaimanapun juga kita harus mencari worklife balance, dengan tetap mengalokasikan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan teman, serta tidak meninggalkan ibadah, berolahraga, dan istirahat yang cukup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun