Yang namanya anak buah, tentu banyak tidak enaknya, kecuali saat menerima gaji. Itu pun kalau gajinya relatif kecil, harus ikhlas dipotong untuk membayar pinjaman di koperasi kantor atau di bank dengan menjaminkan surat keputusan (SK) sebagai pegawai dari suatu instansi atau perusahaan.
Tapi, mengingat betapa susahnya untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi di saat pandemi Covid-19 ini sangat banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maka pada dasarnya, menjadi anak buah itu harus dienak-enakkan.
Jangan mengira yang namaya anak buah itu pegawai level paling rendah saja. Pada prinsipnya, di sebuah perusahaan, selain direktur utama, semuanya adalah anak buah, dalam arti semua punya atasan.Â
Dengan demikian, selain direktur utama (yang tak punya atasan) dan pegawai level terbawah (yang tak punya bawahan), maka semuanya selalu berinteraksi dengan tiga kelompok pegawai di tempat mereka bekerja, yaitu bosses, peers, dan subordinates (atasan, rekan selevel, dan bawahan). Semuanya perlu dikelola dengan baik agar bisa bekerja dengan nyaman.
Barangkali mengatur bawahan relatif lebih gampang, mengatur rekan satu level bisa dikatakan gampang-gampang susah, sedangkan mengatur atasan merupakan sesuatu yang sangat sulit, bahkan malah tidak mungkin.Â
Jadi, nyaman tidaknya seseorang saat bekerja, salah satunya tergantung pada tipe bos yang mesti dilayaninya. Bila kebetulan punya bos yang baik hati, mau mendengarkan saran bawahan, tidak gampang emosi, suka mentraktir, memberikan instruksi secara jelas, dan berabagai sifat positif lainnya, maka itulah kondisi yang diimpikan.
Biasanya bos seperti itu, saat harus dimutasikan atau dipromosikan ke tempat lain, anak buah akan bersedih. Ketika acara perpisahan meraka melepas bosnya dengan berlinang air mata.
Sebaliknya, bila kebetulan punya bos yang sering memberikan perintah tidak mengenal waktu, perintahnya bertubi-tubi dan semuanya harus selesai cepat, sering marah-marah, pelit, dan berbagai sifat negatif lainnya, semua anak buah bagai merasa di "neraka". Waktu perpisahan, semua akan mengucap syukur, malah ada yang memotong kambing.
Masalahnya, para karyawan tentu tidak bisa memilih-milih bos yang disukainya dan mereka terpaksa menyerahkan pada faktor nasib saja. Terlepas dari itu, bagi karyawan yang bekerja pada bidang atau perusahaan yang disukainya, biasanya bisa menikmati pekerjaan tersebut, malah seperti melakukan hobinya saja.
Makanya, sangatlah beruntung seseorang yang mendapatkan pekerjaan sesuai passion, yang betul-betul menjadi panggilan jiwanya. Inilah kondisi ideal sehingga mereka yang meraihnya serasa tidak bekerja, tapi melakukan sesuatu yang menyenangkan, tanpa merasa dibebani.
Tapi, seperti yang telah disinggung di atas, tidak hanya sekarang, jauh sebelum bencana pandemi pun, mencari pekerjaan sangat tidak gampang. Terlalu banyak alumni perguruan tinggi yang berburu pekerjaan, apalagi bila ditambah mereka yang tidak kuliah. Di lain pihak, lowongan pekerjaan yang tersedia sangat terbatas.