Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Berbahagialah Lansia yang Aktif Menulis seperti Pak Tjipta dan Bu Lina

4 Januari 2021   13:06 Diperbarui: 4 Januari 2021   23:36 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Tjiptadinata Effendi

Dulu, ketika saya masih meniti karier di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membayangkan apa yang akan saya lakukan ketika pensiun, terkadang agak mencemaskan. Cemas tersebut berkaitan dengan kecukupan finansial, kesehatan fisik, dan ketangguhan mental.

Di BUMN tersebut kebijakannya adalah memensiunkan karyawannya pada usia 56 tahun. Maka, sejak berusia 50 tahun, saya sudah membuat semacam daftar, berisikan alternatif pekerjaan yang akan saya geluti di masa pensiun. 

Menurut saya, dengan tetap bekerja, di samping menambah penghasilan, juga membuat saya tetap berpikir dan bergerak. Dengan demikian, saya berharap tetap sehat secara fisik dan mental.

Tapi, waktu berlalu dengan cepatnya. Tanpa sempat melakukan persiapan agar bisa punya profesi baru, tiba-tiba saya menerima surat keputusan dari Direksi yang membuat status karyawan saya jadi hilang, berganti dengan status purnabakti.

Saya beruntung hanya dua minggu menjadi seorang "pengangguran". Secara kebetulan saya bertemu dengan mantan bos yang jadi komisaris di BUMN lain. Saya diminta mengirimkan curriculum vitae ke BUMN tersebut, dan diterima bekerja part time. Statusnya hanya dikontrak untuk jangka pendek. 

Hal itu justru sangat saya syukuri, karena saya jadi punya waktu untuk menjadi dosen tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta. Menjadi pengajar, memang sudah masuk dalam daftar yang saya rencanakan sebelumnya.

Selain mengajar, yang juga sudah saya targetkan adalah makin aktif menulis. Tapi, saya sangat menyadari, aktivitas saya menulis lebih diniatkan sebagai kegiatan bersenang-senang, karena ini hobi saya. Syukur-syukur bila tulisan tersebut bermanfaat bagi orang lain. Bagi saya sendiri, manfaatnya ya mendatangkan kepuasan batin.

Saya paham, cepat atau lambat, saya akan betul-betul pensiun, dan itu terjadi pada September 2020 lalu, ketika kontrak pekerjaan part time sudah habis.

Mengajar di PTS pun juga tidak saya teruskan lagi karena tidak begitu menikmati sistem pembelajaran jarak jauh. Nah, dengan demikian, saya punya banyak waktu kosong.

Awalnya saya sempat cemas bila waktu kosong akan membuat saya terlena bermalas-malasan saja. Kenyataannya, menulis di Kompasiana, termasuk membaca tulisan teman-teman, menjadi kecanduan bagi saya. Saya sangat menikmati, sehingga tak ada istilah waktu kosong. Justru 24 jam sehari seperti tidak cukup.

Menurut saya, menulis merupakan terapi yang ampuh bagi kesehatan para lansia, terutama untuk mencegah atau memperlambat datangnya kepikunan.

Menulis membuat hari-hari saya terasa bergairah dan saya punya semangat untuk lebih banyak membaca. Dengan membaca apa saja, saya menemukan topik dari berbagai bidang untuk ditulis. Makanya saya tidak punya spesialisasi di bidang tertentu.

Menjadi lansia tidak lagi mencemaskan bagi saya. Lansia di era milenial bukan seperti lansia jadul. Lansia tidak lagi identik dengan sakit-sakitan, tapi bisa mengimbangi anak muda dalam menggunakan laptop atau telpon pintar. Banyak juga lansia yang ketagihan bermedia sosial.

Panutan saya dalam dunia tulis menulis adalah pasangan suami istri yang berbahagia, yang telah menjalani susah senang membangun mahligai rumah tangga selama 56 tahun, yakni Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata (selanjutnya saya tulis Pak Tjipta dan Bu Lina).

Mungkin tidak semua hal bisa saya tiru dari beliau berdua, karena produktivitasnya sangat luar biasa. Tapi paling tidak, semangatnya bisa saya ambil.

Saya beruntung sudah dua kali bertemu secara fisik dengan pasangan yang telah menginspirasi banyak orang tersebut, tidak saja para kompasianer, tapi juga komunitas di berbagai bidang lainnya. Soalnya, Pak Tjipta dulunya lama menjadi Grandmaster Reiki, sebuah teknik terapi pengobatan.

Sungguh, Pak Tjipta dan istri sangat ramah dan tidak terkesan menggurui kepada mereka yang lebih muda. Yang saya salut, bila berbicara dengan saya selalu dalam bahasa Minang yang fasih. Padahal beliau sudah cukup lama tidak lagi menetap di Padang.

Sebagian orang Minang sekarang sudah mulai meninggalkan bahasa daerah dan sehari-hari di keluarganya berbicara dalam bahasa Indonesia, bukan saja mereka yang tinggal di rantau, tapi juga yang tinggal di Padang. Tapi, tidak demikian dengan Pak Tjipta.

Tinggal di Australia sekian lama ternyata tidak membuat lidah Pak Tjipta keseleo bila berbicara bahasa Minang. Dan lidah yang sama masih sangat menyukai masakan Padang. Tak heran, kalau mentraktir rekan-rekannya, termasuk saya pernah mencicipi, rumah makan Minang di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, sering menjadi pilihan beliau.

Jelas, saya belum ada apa-apanya jika dibandingkan Pak Tjipta dan Bu Lina. Tapi, dengan tetap menulis seperti Pak Tjipta dan Bu Lina, saya tidak lagi cemas menjalani hari demi hari dengan status pensiunan. Beliau berdua berbahagia, saya juga ingin seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun