Dulu, ketika saya masih meniti karier di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), membayangkan apa yang akan saya lakukan ketika pensiun, terkadang agak mencemaskan. Cemas tersebut berkaitan dengan kecukupan finansial, kesehatan fisik, dan ketangguhan mental.
Di BUMN tersebut kebijakannya adalah memensiunkan karyawannya pada usia 56 tahun. Maka, sejak berusia 50 tahun, saya sudah membuat semacam daftar, berisikan alternatif pekerjaan yang akan saya geluti di masa pensiun.Â
Menurut saya, dengan tetap bekerja, di samping menambah penghasilan, juga membuat saya tetap berpikir dan bergerak. Dengan demikian, saya berharap tetap sehat secara fisik dan mental.
Tapi, waktu berlalu dengan cepatnya. Tanpa sempat melakukan persiapan agar bisa punya profesi baru, tiba-tiba saya menerima surat keputusan dari Direksi yang membuat status karyawan saya jadi hilang, berganti dengan status purnabakti.
Saya beruntung hanya dua minggu menjadi seorang "pengangguran". Secara kebetulan saya bertemu dengan mantan bos yang jadi komisaris di BUMN lain. Saya diminta mengirimkan curriculum vitae ke BUMN tersebut, dan diterima bekerja part time. Statusnya hanya dikontrak untuk jangka pendek.Â
Hal itu justru sangat saya syukuri, karena saya jadi punya waktu untuk menjadi dosen tidak tetap di sebuah perguruan tinggi swasta. Menjadi pengajar, memang sudah masuk dalam daftar yang saya rencanakan sebelumnya.
Selain mengajar, yang juga sudah saya targetkan adalah makin aktif menulis. Tapi, saya sangat menyadari, aktivitas saya menulis lebih diniatkan sebagai kegiatan bersenang-senang, karena ini hobi saya. Syukur-syukur bila tulisan tersebut bermanfaat bagi orang lain. Bagi saya sendiri, manfaatnya ya mendatangkan kepuasan batin.
Saya paham, cepat atau lambat, saya akan betul-betul pensiun, dan itu terjadi pada September 2020 lalu, ketika kontrak pekerjaan part time sudah habis.
Mengajar di PTS pun juga tidak saya teruskan lagi karena tidak begitu menikmati sistem pembelajaran jarak jauh. Nah, dengan demikian, saya punya banyak waktu kosong.
Awalnya saya sempat cemas bila waktu kosong akan membuat saya terlena bermalas-malasan saja. Kenyataannya, menulis di Kompasiana, termasuk membaca tulisan teman-teman, menjadi kecanduan bagi saya. Saya sangat menikmati, sehingga tak ada istilah waktu kosong. Justru 24 jam sehari seperti tidak cukup.
Menurut saya, menulis merupakan terapi yang ampuh bagi kesehatan para lansia, terutama untuk mencegah atau memperlambat datangnya kepikunan.