Bansos saja ternyata belum cukup, apalagi terdapat sejumlah masalah yang berkaitan dengan akurasi data dari warga yang berhak menerima. Ibaratnya pemerintah harus berupaya lebih keras lagi agar mesin ekonomi segera bisa dipanaskan.
Maka perusahaan yang bisa "diperintahkan" oleh pemerintah untuk mulai bergerak, hanyalah BUMN. Bahkan kalaupun sejumlah BUMN akan menderita kerugian karena melaksanakan instruksi pemerintah tersebut, toh akan mendapatkan (sebagian mungkin telah mendapatkan) suntikan dana yang bersumber dari anggaran belanja negara.
Khusus terhadap Erick secara pribadi, bisa jadi ditunjuk karena kompetensinya yang mampu bergerak cepat. Ingat sewaktu Erick menjadi Ketua Pelaksana Asian Games 2018 lalu, banyak pihak yang meragukan Indonesia akan sukses menyelenggarakan pesta olahraga terbesar se-Asia itu, namun ternyata akhirnya menuai sukses. Artinya, Erick seorang man of action, mampu menggerakkan tim secara efektif.
Hanya saja, menggerakkan tim penanganan Covid-19 tentu saja berbeda jauh dengan Asian Games. Apalagi mencari racikan formula yang tepat antara tarik menarik di bidang pemulihan ekonomi dan pembatasan sosial demi pencegahan pandemi, tentu bukan hal yang gampang. Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan fungsi tim ibarat gas dan rem.
Alasan lain lagi, Erick berasal dari pengusaha swasta. Dengan demikian, setelah BUMN bergerak, Erick juga diharapkan berperan besar mendorong teman-temannya sesama pengusaha, untuk tidak ragu-ragu mulai berproduksi lagi dan gencar merangsang pulihnya konsumsi masyarakat. Jika ini terjadi, lapangan kerja kembali terbuka dan mereka yang tadinya terkena PHK bisa ditampung lagi.
Masalahnya, seberapa kencang mesin ekonomi bisa digerakkan, agar jumlah warga yang terkena Covid-19 tidak semakin banyak? Itu yang dimaksudkan dengan perlunya mencari resep yang pas. Seberapa kencang itu, kuncinya terletak pada kedisiplinan masyarakat sewaktu beraktivitas sehari-hari yang harus tetap mematuhi potokol kesehatan.
Lalu agar masyarakat meningkatkan kedisiplinannya, kuncinya akan lebih banyak pada teknik komunikasi yang persuasif dari tim yang dibentuk pemerintah itu tadi. Padahal kementerian yang membidangi komunikasi, malah tidak dilibatkan pada struktur organisasinya.Â
Jika cara persuasif tidak berjalan, tak bisa tidak, pemantauan yang ketat oleh aparat penegak hukum beserta penjatuhan hukuman bagi warga yang melanggar harus dilaksanakan secara terus menerus.
Kedisiplinan masyarakat jadi masalah besar, bahkan terkesan sekarang mulai banyak warga yang mengabaikan protokol kesehatan, justru ketika pembatasan sosial mulai diperlongar demi memulihkan perekonomian. Seperti judul berita di kompas.id (27/7/2020), Penularan Meluas, Pasien Terus Bertambah.
Tulisan tersebut menyorot makin banyaknya kluster-kluster baru, mulai dari keluarga, perumahan, perkantoran, hingga rumah sakit. Sebelumnya banyak terjadi penambahan warga yang terpapar Covid-19 di kluster pasar tradisional. Saat ini jumlah kasus Covid-19 di negara kita sudah hampir menyentuh angka 100.000 orang. Mengerikan bukan?
Maka sungguh kita berharap banyak pada tim terpadu di atas yang menggabungkan tim ekonomi dengan tim kesehatan. Namun demikian, sekiranya masyarakat sadar bahwa urusan mematuhi protokol kesehatan merupakan kewajiban masing-masing warga, justru demi warga itu sendiri, bukan demi pemerintah, tentu tidak lagi terjadi dilema antara menggerakkan perekonomian atau mengutamakan kesehatan.