Bagi perusahaan swasta, barangkali relatif jarang mengalami terjadinya konflik antara jajaran direksi dan komisaris. Seperti diketahui, direksi adalah pihak manajemen puncak dan menjadi nakhoda dalam aktivitas perusahaan sehari-hari. Adapun komisaris adalah pihak yang mengawasi direksi dan tidak terjun dalam aktivitas harian.
Secara hirarki, komisaris lebih tinggi kedudukannya ketimbang direksi, karena komisaris merupakan wakil dari pemilik perusahaan atau pemegang saham mayoritas.
Meskipun saat ini sebagian komisaris ada yang bersifat independen, dalam arti tidak ada kaitan dengan pemilik, agar tercipta keputusan yang lebih obyektif.
Bila komisaris tidak puas dengan kinerja direksi, tentu saja komisaris bisa mengangkat isu pergantian direksi dalam forum rapat umum pemegang saham (RUPS).
Jadi, logikanya, meskipun direksi tidak ingin pekerjaannya terlalu direcoki oleh jajaran komisaris, tetap harus menghormati dan menjalin hubungan baik dengan komisaris.
Sedangkan direksi biasanya para profesional yang diyakini pemegang saham sebagai orang-orang yang mampu membawa perusahaan berhasil meraih target yang diinginkan.
Hanya saja pada perusahaan keluarga, lazim pula terdapat beberapa anggota direksi yang berasal dari kalangan keluarga pemilik, sehingga praktis jarang muncul konflik antar direksi dan komisaris.
Nah, persoalannya jadi lain kalau kita berbicara tentang perusahaan yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Meskipun tidak tercantum secara tertulis sebagai persyaratan yang harus dipuyai pengurus (direksi dan komisaris) BUMN, faktor politis ikut berbicara.
Maksudnya, meskipun yang ditunjuk untuk jadi direktur atau komisaris berasal dari kalangan profesional, kedekatannya dengan kekuasaan (istana, kementerian, atau partai pendukung pemerintah), akan turut menjadi bahan pertimbangan.
Maka walaupun pada hirarki perusahaan secara umum, direksi berada di bawah komisaris, di perusahaan milik negara justru terkesan sebaliknya.