Tapi dalam kondisi takut ada pemeriksaan di jalan, takut diminta untuk melakukan isolasi mandiri, takut menulari atau ditulari virus corona, membuat mereka menyemangati diri sendiri untuk berlebaran di rumah sendiri.Â
Kakak saya yang satu lagi mempunyai empat orang anak, baru kali ini pula berlebaran secara terpencar-pencar. Kakak saya di Payakumbuh dengan anak bungsunya. Yang lain bersama keluarga masing-masing di Dumai, Sawahlunto, dan Tangerang Selatan.
Lalu seorang adik saya yang bersama suaminya berlebaran di Payakumbuh, baru pertama kali tidak dalam formasi lengkap. Satu anaknya yang kuliah di Universitas Brawijaya Malang, terkurung di sana. Satu lagi anaknya alumni UGM baru bekerja di Jakarta, juga tak mungkin pulang ke Payakumbuh.
Saya tawarkan ke keponakan saya yang kos di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, agar selama libur lebaran, tinggal bersama saya. Namun ia menolak karena sebelumnya ia dua minggu bertugas di Cikarang, mengaudit sebuah perusahaan di sana. Ia ingin melakukan karantina mandiri, katanya.
Sedangkan saudara saya yang lain, keluarga almarhum kakak saya, bisa berlebaran dengan anak-anaknya di Payakumbuh, karena memang tidak ada yang merantau. Demikian pula keluarga adik bungsu saya yang tinggal di Pekanbaru, bisa berkumpul dengan semua anaknya, walaupun tidak ke Payakumbuh seperti tahun-tahun sebelumnya.
Begitulah kisah lebaran yang tercerai berai. Memang ada video call, mudik virtual, atau pakai aplikasi yang bisa ngobrol bareng secara online, yang bisa sedikit mengobati rindu. Tapi bagi saya, apalagi yang lebih tua dari saya, yang tergolong gaptek, tidak ada yang melebihi keseruan bila bisa berkumpul secara fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H