Kalau tahun ini saya sekeluarga berlebaran di Jakarta, bukan mudik ke Payakumbuh, Sumatera Barat, yang merupakan kota kelahiran saya sekaligus menjadi homebase saya beserta kakak-kakak dan adik-adik saya, sama sekali bukan karena alasan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tapi karena saya memang tidak setiap tahun mudik.
Lebaran tahun ini saya tidak punya rencana untuk pulang kampung. Namun, kalau sekadar pulang di luar lebaran, sebetulnya saya relatif sering melakukannya. Terakhir di awal Maret ini, sebelum PSBB dimulai, saya sempat ke Payakumbuh untuk suatu keperluan sosial, sekaligus saya menyempatkan berziarah ke makam ayah dan ibu saya.
Saya anak ke-4 dari tujuh bersaudara, namun dua orang saudara saya sudah berpulang ke rahmatullah. Jadi kami tinggal berlima, saya dengan dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Nah bagi empat orang perempuan inilah beserta anak-anaknya, bahkan juga ada yang sudah bermenantu dan bercucu, berkumpul di Payakumbuh setiap lebaran, merupakan hal yang wajib.
Biasanya, di hari lebaran pertama, dengan beberapa kendaraan pribadi, semuanya akan makan siang di rumah Mak Datuk, adik laki-laki dari almarhumah ibu saya. Mak Datuk ini sekarang berumur 78 atau 79 tahun, punya peran yang strategis menurut adat Minang, karena beliau adalah kepala suku (marga) Sikumbang di Nagari Padang Tarok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumbar.Â
Tapi acara berlebaran itu bukan ke Padang Tarok, melainkan ke Nagari Ujuang Guguak, di desa asal istri beliau, seorang pensiunan guru berusia beberapa bulan lebih tua dari Mak Datuk. Istri beliau sangat terkenal jago memasak, membuat kami semua makan lamak (makan enak) kalau lagi berlebaran di sana.
Masalahnya lebaran tahun ini menjadi lebaran yang kelabu buat Mak Datuk dan istrinya. Anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan semuanya berdomisili di Riau, tak bisa mudik karena terkena PSBB. Padahal Mak Datuk mulai sakit-sakitan. Bahkan isti beliau sulit untuk berjalan secara normal, harus pakai tongkat.
Namun karena mau berlebaran, istri Mak Datuk tetap memaksakan diri memasak hidangan khas lebaran. Malang tak tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, kaki sang istri tersiram air mendidih dua hari menjelang lebaran.
Saya dapat cerita dari kakak saya melalui telepon pas di hari lebaran. Rupanya, setelah tersiram air panas itu, Mak Datuk menelpon anak-anaknya, tapi tetap saja anak-anaknya tidak bisa pulang kampung. Untung saja ada tetangga yang membantu mengobati pakai ramuan kampung dan sekarang masih tersisa bekas letupannya .
Kakak saya sendiri baru tahu di pagi lebaran, ketika menelpon Mak Datuk, meminta maaf karena tidak bisa datang ke rumah beliau, meskipun jaraknya dari Payakumbuh sekitar 20 km, tapi berbeda  kabupaten. Saya hanya bisa membayangkan betapa gundahnya perasaan Mak Datuk tanpa kehadiran anak-anak dan cucu di hari lebaran, dengan kondisi istri yang sakit.                                               Â
Tentang lebaran yang tercerai berai, tentu menjadi pengalaman banyak orang saat ini. Seperti juga pengalaman kakak tertua saya, inilah lebaran pertamanya bukan berlangsung di Payakumbuh. Sang Kakak yang ketika PSBB mulai diberlakukan di Sumbar lagi berada di rumah anak tertuanya di Padang, memilih berlebaran di Padang. Bukan memilih sebetulnya, tapi terpaksa oleh keadaan.
Sudah belasan tahun sejak keponakan saya (anak pertama kakak tertua) itu bekerja, berkeluarga, dan punya rumah sendiri di Padang, baru sekaranglah rumah itu digunakan di hari raya idul fitri. Sebetulnya jarak dari Padang ke Payakumbuh hanya 125 km atau sekitar 3 jam perjalanan memakai kendaraan pribadi.Â
Tapi dalam kondisi takut ada pemeriksaan di jalan, takut diminta untuk melakukan isolasi mandiri, takut menulari atau ditulari virus corona, membuat mereka menyemangati diri sendiri untuk berlebaran di rumah sendiri.Â
Kakak saya yang satu lagi mempunyai empat orang anak, baru kali ini pula berlebaran secara terpencar-pencar. Kakak saya di Payakumbuh dengan anak bungsunya. Yang lain bersama keluarga masing-masing di Dumai, Sawahlunto, dan Tangerang Selatan.
Lalu seorang adik saya yang bersama suaminya berlebaran di Payakumbuh, baru pertama kali tidak dalam formasi lengkap. Satu anaknya yang kuliah di Universitas Brawijaya Malang, terkurung di sana. Satu lagi anaknya alumni UGM baru bekerja di Jakarta, juga tak mungkin pulang ke Payakumbuh.
Saya tawarkan ke keponakan saya yang kos di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, agar selama libur lebaran, tinggal bersama saya. Namun ia menolak karena sebelumnya ia dua minggu bertugas di Cikarang, mengaudit sebuah perusahaan di sana. Ia ingin melakukan karantina mandiri, katanya.
Sedangkan saudara saya yang lain, keluarga almarhum kakak saya, bisa berlebaran dengan anak-anaknya di Payakumbuh, karena memang tidak ada yang merantau. Demikian pula keluarga adik bungsu saya yang tinggal di Pekanbaru, bisa berkumpul dengan semua anaknya, walaupun tidak ke Payakumbuh seperti tahun-tahun sebelumnya.
Begitulah kisah lebaran yang tercerai berai. Memang ada video call, mudik virtual, atau pakai aplikasi yang bisa ngobrol bareng secara online, yang bisa sedikit mengobati rindu. Tapi bagi saya, apalagi yang lebih tua dari saya, yang tergolong gaptek, tidak ada yang melebihi keseruan bila bisa berkumpul secara fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H