Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berteman dengan Orang Sombong? Anggap Tidak Ada Saja

12 Mei 2020   10:10 Diperbarui: 12 Mei 2020   10:12 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba saja grup WhatsApp (WA) yang beranggotakan teman-teman kuliah saya dulu, geger, setelah Fatur memutuskan keluar dari grup. Gara-garanya ada seorang teman, Leni, dengan emosi menuduh Fatur tidak peka dengan perasaan teman-temannya.

Fatur berwajah tampan. Otaknya juga encer. Waktu kuliah dulu, ia playboy juga, sering gonta ganti pacar. Meskipun berasal dari keluarga pas-pasan, rasa percaya diri Fatur tergolong tinggi, bahkan cenderung sombong, mungkin karena tahu banyak cewek yang menggandrunginya. Apalagi ia juga aktivis kampus.

Saya sendiri tidak begitu mengetahui sepak terjang Fatur setelah tamat kuliah, karena kehilangan kontak. Tapi saya tahu kalau ia bekerja di sebuah perusahaan minyak di Kalimantan Timur. Teman saya bilang kalau Fatur sudah jadi  orang kaya.

Baru beberapa bulan lalu Fatur masuk grup WA yang saya ikuti itu, setelah salah seorang teman kebetulan bertemu Fatur di Jakarta dan mereka saling bertukar nomor hape. Ternyata Fatur yang baru pensiun di usia 58 tahun, sekarang tinggal di rumahnya sendiri di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Sejak Fatur masuk grup WA, lalu lintas pembicaraan mendadak berubah. Banyak cewek-cewek, yang kayaknya para penggemar Fatur saat kuliah dulu, rajin mengirim komentar, termasuk mengirim foto-foto nostalgia.

Nah, akhir Februari lalu, saat di Jakarta belum ada aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), salah seorang teman saya mengadakan acara resepsi pernikahan anak sulungnya.  Saya yang memang tinggal di Jakarta tentu tidak kesulitan untuk hadir di acara itu.

Ketika itulah saya bertemu dengan sekiar 20-an teman kuliah saya di Padang dulu. Bahkan di antaranya ada 5 orang, yang terdiri sepasang suami istri dan 3 orang perempuan, yang datang langsung dari Padang.

Waktu itulah rombongan dari Padang ini mengatakan pada saya bahwa mereka sangat ingin berkunjung ke rumah Fatur.  Fatur sendiri tidak terlihat hadir di resepsi pernikahan tersebut.

Malah saya sedikit curiga. Karena saya tahu sebagian dari rombongan Padang itu adalah anggota geng Fatur dulunya, jangan-jangan tujuan utamanya ke Jakarta ingin bertemu Fatur.

Entah bagaimana jalan ceritanya, 2 hari setelah resepsi di atas, terjadilah drama yang menggegerkan grup WA itu. Setelah saya telusuri, awalnya ada tulisan bernada kekecewaan dari salah satu anggota rombongan Padang yang telah dua kali ke rumah Fatur, dua-duanya gagal bertemu Fatur.

Berikutnya muncul "bom" dari Leni yang dengan lugas menulis bahwa Fatur sudah sombong, mentang-mentang jadi orang kaya sudah tak mau kenal lagi dengan teman lama. "Teman-teman mau bertemu hanya untuk silaturahmi, bukan minta uang, kok gak ditemui," tulis Leni. Segera setelah itu Fatur cabut dari grup.

Leni sendiri tinggal di Jakarta, dan ikut juga ke acara resepsi pernikahan di atas. Jiwa sosial Leni yang tinggi membuat ia dekat dengan semua teman kuliah dulu. Kecuali yang sepasang suami istri, 3 cewek lain dari rombongan Padang, selama di Jakarta menginap di rumah Leni.

Saya yang penasaran dengan kegegeran di grup WA, segera menelpon Leni, dan mendapat cerita lebih lengkap tentang bagaimana liku-liku perjuangan rombongan Padang sewaktu berniat menemui Fatur.

Rupanya setelah menghadiri resepsi pada Minggu malam, besok sorenya rombongan Padang sudah sampai di rumah Fatur. Sebelumnya salah seorang sudah mengirim WA ke Fatur secara japri memberitahu mereka mau datang. Fatur membaca pesan itu tapi tak membalasnya, yang diartikan teman-teman sebagai mempersilakan untuk datang.

Ternyata Fatur tidak ada di rumah. Istrinya juga tidak ada. Yang ada asisten rumah tangga yang mengatakan Fatur dan istri lagi ke dokter. Ditunggu sampai malam, Fatur tak kunjung pulang. Ada yang mencoba menelpon, tapi tidak diangkat Fatur. Akhirnya kembali seorang anggota rombongan menulis pesan WA, bahwa mereka akan datang lagi besok jam 10 pagi, karena sorenya akan kembali ke Padang.

Pesan tersebut kembali dibaca Fatur, tapi juga tidak dibalas. Karena sudah pensiun, pikir teman-teman itu Fatur akan di rumah saja. Ternyata sesampainya di rumah Fatur besok paginya, Fatur lagi-lagi tak di rumah. Kata asisten rumah tangganya Fatur mengantar anak bungsunya ke kampus tempat kuliahnya.

Setelah hampir dua jam menunggu, akhirnya setelah beberapa kali menelpon, Fatur baru menjawab dengan mengatakan bahwa ia setelah dari kampus anaknya pergi untuk suatu keperluan ke Bogor dan baru akan pulang sorenya. Rombongan Padang pun kecewa berat karena jam 3 sore mereka sudah harus sampai di bandara Soekarno-Hatta unuk terbang ke Padang.

Bagi saya jelas sudah bahwa Fatur tidak mau ketemu teman-temannya. Saya sependapat dengan Leni bahwa Fatur sombong. Tapi saya tak sepakat dengan cara Leni menghajarnya yang berbuntut keluarnya Fatur dari grup WA.

Menurut saya, kesombongan Fatur sudah jadi hal yang tak dapat dikendalikan teman-temannya lagi, anggap saja sudah dari sono-nya. Digurui atau dimarahi malah buang-buang energi saja. 

Bahkan saya menyalahkan rombongan Padang yang tetap ngotot mau menemui Fatur, padahal saya mengartikan tidak adanya balasan WA dari Fatur terkait konfirmasi kedatangan rombongan, sama dengan sinyal penolakan.

Saya sendiri punya pengalaman pribadi dengan orang yang saya nilai sombong. Saya punya teman seusia, sebut saja namanya Soni. Sebetulnya Soni masih terhitung famili jauh saya, yang karena yatim piatu, dibawa kakek saya dari sebuah desa di Kabupaten Agam, Sumbar, yang juga desa asal kakek. 

Rumah orang tua saya dan rumah kakek bersebelahan, sehingga Soni menjadi teman sepermainan saya sejak usia 6 tahun ketika ia diboyong dari desanya, sampai Soni menamatkan SMA. Mirip Fatur, Soni juga tampan dan pintar. Bahkan Soni menurut saya jauh lebih pintar karena ia berhasil masuk kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai mahasiswa undangan.

Sayangnya, sejak meninggalkan Sumbar, Soni sama sekali tidak lagi memelihara tali silaturahmi dengan saya, juga dengan angota keluarga di rumah saya dan di rumah kakek. Tidak ada surat yang datang. Setelah ia jadi orang penting di sebuah kementerian pun, Soni belum pernah menginjakkan kaki lagi di kampung halamannya.

Saya teringat, dulu ketika masih SMP, Soni pernah curhat ke saya, ia merasa dijadikan pembantu rumah tangga saja oleh keluarga di rumah kakek. Saya rasa sebagian ada benarnya, tapi sebagian keliru. Toh, Soni punya waktu yang banyak untuk belajar sehingga prestasi belajarnya bagus dan jadi mahasiswa undangan di ITB. 

Mungkin saya keliru, tapi di mata saya, Soni itu sombong, ibarat lupa kacang dengan kulitnya. Betapa pun menderitanya di masa lalu, seharusnya tidak memelihara dendam pada seseorang atau pada beberapa orang yang berbuntut putusnya tali silaturahmi.

Tapi, orang sombong seperti Soni dan Fatur, agar tidak merusak pikiran, bagi saya  caranya gampang, anggap saja ia tidak ada. Jadi saya terbebas dari rasa sakit hati seperti yang dirasakan Leni dan teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun