Sayangnya, sejak meninggalkan Sumbar, Soni sama sekali tidak lagi memelihara tali silaturahmi dengan saya, juga dengan angota keluarga di rumah saya dan di rumah kakek. Tidak ada surat yang datang. Setelah ia jadi orang penting di sebuah kementerian pun, Soni belum pernah menginjakkan kaki lagi di kampung halamannya.
Saya teringat, dulu ketika masih SMP, Soni pernah curhat ke saya, ia merasa dijadikan pembantu rumah tangga saja oleh keluarga di rumah kakek. Saya rasa sebagian ada benarnya, tapi sebagian keliru. Toh, Soni punya waktu yang banyak untuk belajar sehingga prestasi belajarnya bagus dan jadi mahasiswa undangan di ITB.Â
Mungkin saya keliru, tapi di mata saya, Soni itu sombong, ibarat lupa kacang dengan kulitnya. Betapa pun menderitanya di masa lalu, seharusnya tidak memelihara dendam pada seseorang atau pada beberapa orang yang berbuntut putusnya tali silaturahmi.
Tapi, orang sombong seperti Soni dan Fatur, agar tidak merusak pikiran, bagi saya  caranya gampang, anggap saja ia tidak ada. Jadi saya terbebas dari rasa sakit hati seperti yang dirasakan Leni dan teman-temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H