Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anda Stres? Coba Catat Dulu, Apa Saja yang Menjadi Masalah

23 Mei 2020   07:00 Diperbarui: 23 Mei 2020   08:18 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Medical Xpress, dimuat jawapos.com

Bukan kebiasaan saya untuk meneruskan berbagai informasi yang saya terima melalui akun media sosial saya. Tapi ketika ada video yang berisikan 7 hal yang menyebabkan daya tahan tubuh seseorang berkurang, dan menurut saya masuk akal serta bermanfaat, langsung saya teruskan ke seorang teman.

Soalnya saya baru saja melihat foto si teman itu di akun media sosialnya, dengan penampilan yang kurang bersemangat dan matanya merah. Ketika saya tanya kok matanya merah, dijawabnya karena kurang tidur. Apakah kurang tidur karena stres, tanya saya lagi. Ia mengiyakan karena akhir-akhir ini terlalu banyak masalah yang membebani pikirannya.

Nah masalah kurang tidur dan stres adalah salah dua dari 7 hal yang menurunkan daya tahan tubuh menurut versi video di atas. Sedangkan 5 hal lainnya adalah kurang bergerak, merasa kesepian, pola makan yang tidak benar, kehilangan selera humor, dan terlalu sering mengonsumsi antibiotik. Khusus tentang antibiotik, yang bagus adalah yang alami seperti madu, bawang putih, jahe, atau jahe merah.

Kembali ke teman saya ini, pengakuannya bahwa ia sering stres, cukup mengagetkan saya.  Soalnya kalau lagi berkumpul dengan teman-teman, ekspresi wajahnya selalu ceria. Ia juga senang bernyanyi bila ikut dalam acara ngumpul-ngumpul yang di tempat makan punya fasilitas hiburan organ tunggal.

Cerita teman saya itu lagi, dalam suasana menjelang lebaran ini, stresnya makin menjadi-jadi, gara-gara selama ini setiap lebaran ia sekeluarga selalu mudik ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Sementara itu pada tahun ini, memenuhi kebijakan pemerintah dalam rangka pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ia telah memutuskan untuk berdiam diri saja di rumahnya, yang berada di kawasan Depok, Jawa Barat.

Masalahnya, meski ia sendiri belum yakin apakah akan ada tamu, khususnya familinya yang tinggal di Jabodetabek, akan datang ke rumahnya di saat libur lebaran atau tidak, ia tetap melakukan berbagai persiapan, seperti membersihkan rumah dan halamannya, membeli kue lebaran dan memasak makanan khas lebaran ala urang awak, seperti membuat rendang.

Ia seorang wanita single parent, merasa sangat lelah, karena dua orang anak perempuannya yang sudah dewasa tidak mau membantu, padahal ia tak punya asisten rumah tangga. Jika anaknya diminta membantu, akhirnya malah ngerecokin karena dilakukan tanpa niat yang tulus. Makanya walaupun capek, akhirnya ia paksakan berkerja seorang diri.

Dengan niat membantu teman saya itu, akhirnya saya berbagi pengalaman bagaimana caranya saya mengelola stres. Mungkin karena pada dasarnya saya senang menulis, kiat saya adalah menginventarisir semua hal yang menghantui pikiran saya. Awalnya tentu saya tulis secara acak saja, apa saja yang terpikirkan.

Kemudian baru saya kelompokkan semua hal yang telah saya catat itu dalam beberapa kategori. Ada yang termasuk masalah di tempat bekerja, masalah internal di rumah tangga, dan masalah bersosialisasi dengan orang lain, terutama dengan famili dan teman-teman. Sekiranya masih ada masalah yang tak bisa masuk kategori di atas, akan masuk kategori lain-lain.

Setelah itu baru saya berpikir secara cermat untuk masing-masing masalah. Dengan mencatat masalah, saya merasa lebih gampang membedahnya. Bahkan ada masalah yang begitu saya tuliskan, telah selesai dengan sendirinya, karena saya anggap minor dan tadinya karena baper saja sehingga jadi kepikiran.

Terhadap masalah yang betul-betul menjadi beban pikiran, saya baca lagi dengan perlahan tanpa emosi. Setelah itu saya baru fokus pada upaya apa yang mungkin saya lakukan dalam rangka mencari solusi, bukan apa yang saya harapkan dari orang lain untuk saya. Orang lain saya angap sebagai sesuatu yang uncontrollable, di luar kendali saya.

Umpamanya di kantor saya lagi stres karena bos sepertinya tidak menyukai saya, hasil kerja saya sering diberi catatan yang memojokkan saya, seolah-olah saya selama ini tidak becus berkerja. Untuk itu solusi terbaik menurut saya adalah bekerja lebih baik lagi, lebih cerdas lagi, lebih cermat lagi, dengan mengakomodir catatan bos tersebut. 

Saya hilangkan prasangka buruk, saya anggap bos tidak memojokkan saya, tapi justru karena ingin melihat saya lebih maju lagi. Kalaupun setelah itu bos masih memberi catatan, saya berjanji tidak akan patah semangat. Lagipula saya tidak punya niat untuk mencari pekerjaan lain, jadi saya sendirilah yang harus menjaga agar mood saya tetap enak saat di kantor.

Untuk setiap masalah, saya tuliskan apa harapan terbaik yang saya inginkan, serta apa pula risiko terburuk yang mungkin saya hadapi, bila skenario yang terjadi melenceng dari harapan. Dalam meniti karier saya tidak ngoyo, tapi saya punya target maksimal, target moderat, dan target minimal. Kalaupun yang saya capai cuma target minimal, itu akan tetap saya syukuri.

Alhamdulillah, meskipun di mata orang lain saya bukan orang kaya, tapi saya merasa kaya. Bukan karena saya punya banyak harta, tapi justru saya tidak punya banyak keinginan. Orang lain sering ngeledek saya kenapa masih setia pakai mobil butut, tapi saya sampai sekarang merasa masih nyaman-nyaman saja, kenapa harus ganti mobil?

Teman-teman saya pada mengirim anaknya kuliah di luar negeri, saya tidak iri, malah mendoakan agar mereka sukses. Namun saya sendiri merasa bahagia meskipun anak saya semuanya kuliah di dalam negeri. Menurut saya terlalu banyak keinginan malah mengundang stres. Saya tidak terpancing membanding-bandingkan tingkat kesejahteraan saya dengan orang lain.

Saya hanya membandingkan pencapaian saya di masa lalu dengan masa sekarang. Sepelan apapun, jika karier saya meningkat, saya syukuri. Sesedikit apapun, jika penghasilan saya bertambah dari masa sebelumnya, juga saya syukuri. Bahkan jika penghasilan berkurang pun karena ada pemotongan bonus di tempat kerja saya misalnya, saya tidak masuk kelompok yang menggerutu.

Apalagi sekarang ini, di usia yang tidak muda lagi, fokus aktivitas saya sudah bergeser, tidak lagi ke masalah duniawi. Maka target saya sekarang lebih banyak kepada memperbanyak ibadah dan meningkatkan aktivitas sosial. Saya juga menyusun target, misalnya ketika belum ada imbauan untuk beribadah di rumah karena pandemi Covid-19, harus berdisiplin salat lima waktu di masjid secara tepat waktu dan berjamaah.

Saya juga lebih sering memperhatikan sanak saudara saya yang kehidupannya lebih prihatin secara finansial dan semampunya akan saya berikan bantuan. Ternyata betul kata pak ustadz, semakin banyak kita membantu, Allah akan mengganti dari pintu yang tidak terduga. Tapi saya tidak bermain matematika dalam membantu, maksudnya bukan merupakan pancingan agar saya dapat yang lebih besar.

Secara gampang saya merumuskan bahwa stres terjadi karena keinginan yang tak terpenuhi. Solusinya kita harus berupaya lebih keras agar keinginan tersebut bisa terwujud. Tapi ingat, kemampuan kita ada batasnya dan sebagian justru berada di luar kontrol kita. Maka menurunkan keinginan juga menjadi bagian dari cara mengelola stres.

Pendapat saya, stres bukan untuk dihilangkan sama sekali, karena yang namanya manusia pastilah tidak bisa memenuhi semua keinginannya. Konglomerat pun pasti pernah stres, demikian pula presiden. Justru stres diperlukan agar kita punya daya juang yang semakin besar. Jadi, saya lebih suka menyebutnya mengelola stres, bukan menghilangkan stres.

Itulah yang saya ceritakan kepada teman saya. Ia juga mengaku sudah lebih baik kondisinya setelah menginventarisir semua hal yang membebani pikirannya. Saya yakin ia akan menemukan sendiri solusinya dan saya doakan semoga stresnya hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun