Umpamanya di kantor saya lagi stres karena bos sepertinya tidak menyukai saya, hasil kerja saya sering diberi catatan yang memojokkan saya, seolah-olah saya selama ini tidak becus berkerja. Untuk itu solusi terbaik menurut saya adalah bekerja lebih baik lagi, lebih cerdas lagi, lebih cermat lagi, dengan mengakomodir catatan bos tersebut.Â
Saya hilangkan prasangka buruk, saya anggap bos tidak memojokkan saya, tapi justru karena ingin melihat saya lebih maju lagi. Kalaupun setelah itu bos masih memberi catatan, saya berjanji tidak akan patah semangat. Lagipula saya tidak punya niat untuk mencari pekerjaan lain, jadi saya sendirilah yang harus menjaga agar mood saya tetap enak saat di kantor.
Untuk setiap masalah, saya tuliskan apa harapan terbaik yang saya inginkan, serta apa pula risiko terburuk yang mungkin saya hadapi, bila skenario yang terjadi melenceng dari harapan. Dalam meniti karier saya tidak ngoyo, tapi saya punya target maksimal, target moderat, dan target minimal. Kalaupun yang saya capai cuma target minimal, itu akan tetap saya syukuri.
Alhamdulillah, meskipun di mata orang lain saya bukan orang kaya, tapi saya merasa kaya. Bukan karena saya punya banyak harta, tapi justru saya tidak punya banyak keinginan. Orang lain sering ngeledek saya kenapa masih setia pakai mobil butut, tapi saya sampai sekarang merasa masih nyaman-nyaman saja, kenapa harus ganti mobil?
Teman-teman saya pada mengirim anaknya kuliah di luar negeri, saya tidak iri, malah mendoakan agar mereka sukses. Namun saya sendiri merasa bahagia meskipun anak saya semuanya kuliah di dalam negeri. Menurut saya terlalu banyak keinginan malah mengundang stres. Saya tidak terpancing membanding-bandingkan tingkat kesejahteraan saya dengan orang lain.
Saya hanya membandingkan pencapaian saya di masa lalu dengan masa sekarang. Sepelan apapun, jika karier saya meningkat, saya syukuri. Sesedikit apapun, jika penghasilan saya bertambah dari masa sebelumnya, juga saya syukuri. Bahkan jika penghasilan berkurang pun karena ada pemotongan bonus di tempat kerja saya misalnya, saya tidak masuk kelompok yang menggerutu.
Apalagi sekarang ini, di usia yang tidak muda lagi, fokus aktivitas saya sudah bergeser, tidak lagi ke masalah duniawi. Maka target saya sekarang lebih banyak kepada memperbanyak ibadah dan meningkatkan aktivitas sosial. Saya juga menyusun target, misalnya ketika belum ada imbauan untuk beribadah di rumah karena pandemi Covid-19, harus berdisiplin salat lima waktu di masjid secara tepat waktu dan berjamaah.
Saya juga lebih sering memperhatikan sanak saudara saya yang kehidupannya lebih prihatin secara finansial dan semampunya akan saya berikan bantuan. Ternyata betul kata pak ustadz, semakin banyak kita membantu, Allah akan mengganti dari pintu yang tidak terduga. Tapi saya tidak bermain matematika dalam membantu, maksudnya bukan merupakan pancingan agar saya dapat yang lebih besar.
Secara gampang saya merumuskan bahwa stres terjadi karena keinginan yang tak terpenuhi. Solusinya kita harus berupaya lebih keras agar keinginan tersebut bisa terwujud. Tapi ingat, kemampuan kita ada batasnya dan sebagian justru berada di luar kontrol kita. Maka menurunkan keinginan juga menjadi bagian dari cara mengelola stres.
Pendapat saya, stres bukan untuk dihilangkan sama sekali, karena yang namanya manusia pastilah tidak bisa memenuhi semua keinginannya. Konglomerat pun pasti pernah stres, demikian pula presiden. Justru stres diperlukan agar kita punya daya juang yang semakin besar. Jadi, saya lebih suka menyebutnya mengelola stres, bukan menghilangkan stres.
Itulah yang saya ceritakan kepada teman saya. Ia juga mengaku sudah lebih baik kondisinya setelah menginventarisir semua hal yang membebani pikirannya. Saya yakin ia akan menemukan sendiri solusinya dan saya doakan semoga stresnya hilang.