Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Betulkah Kita Bangsa yang Dermawan?

4 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 4 Mei 2020   04:09 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang bencana pandemi Covid-19 di tanah air tak semuanya berbau negatif, sehingga tidak menambah rasa cemas kita. Ternyata selain hebatnya perjuangan para dokter, perawat, dan semua pihak yang terlibat di garis depan merawat pasien yang terpapar Covid-19, pantas pula diacungi jempol, betapa semakin bertumbuhnya solidaritas sosial di tengah masyarakat kita.

Bahkan bila kita menelusuri sejumlah berita terkait di dunia maya, lembaga pengamat internasional pun mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang dermawan, sangat gampang hatinya tersentuh untuk memberikan bantuan yang diperlukan  dalam penanganan Covid-19. 

Selain menyumbangkan alat pelindung diri (APD) dalam versi lengkap bagi para petugas kesehatan, atau APD terbatas berupa masker dan hand sanitizer bagi masyarakat umum, sumbangan berupa sembako dan uang tunai atas dasar prakarsa masyarakat,  juga makin banyak terkumpul dan terdistribusikan.

Jauh sebelum maraknya penggunaan media sosial, media massa arus utama di negara kita sudah punya budaya bergerak cepat menghimpun dana bantuan dari para pembaca media cetak atau pemirsa stasiun televisi tertentu.

Kelompok Kompas Gramedia (KKG) sebagai misal, dengan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) menjadi salah satu yang terdepan dalam menghimpun dan menyalurkan bantuan kepada korban bencana, tanpa membeda-bedakan korban atas dasar suku, agama, atau identitas lainnya.

Dalam menyalurkan bantuan, DKK aktif langsung terjun ke bawah untuk memastikan bantuan yang diberikan betul-betul berupa barang yang dibutuhkan para korban, dan sampai ke tangan orang yang layak untuk menerima bantuan.

Untuk masyarakat kelas bawah yang terganggu mata pencahariannya karena dampak Covid-19, DKK juga menggandeng organisasi masyarakat di lokasi yang dituju, seperti pengurus masjid, pengurus gereja, atau pihak lain yang dapat dipercaya.

Nah, sekarang di era media sosial ini, begitu banyak muncul kreativitas dari individu tertentu, baik public figure maupun masyarakat biasa. Dengan memanfaatkan jaringan teknologi, masyarakat sangat dimudahkan dalam memberikan bantuan, cukup melalui gawai saja.

Sejumlah artis melakukan konser dari rumah dalam rangka penggalangan dana. Banyak pula artis yang melelang baju kesayangannya yang pernah dipakai saat konser, alat musik yang bersejarah dalam kariernya, atau benda lain, juga untuk menggalang dana yang nantinya diteruskan bagi upaya penanganan Covid-19.

Demikian pula para atlet. Pemain sepak bola yang cukup punya nama di tanah air melelang jersey klub yang dibelanya atau jersey timnas yang pernah digunakannya dalam pertandingan bersejarah. 

Banyak lagi bentuk kreativitas lain yang terlalu panjang kalau ditulis di sini satu persatu. Ringkasnya, tanpa harus menunggu pemerintah pusat atau pemerintah daerah, justru  masyarakat kita bergerak lebih cepat. Inilah salah satu bukti kita memang bangsa yang dermawan.

Sebetulnya judul tulisan ini tidak perlu memakai tanda tanya, karena saya haqqul yakin kita bangsa yang dermawan. Masalahnya saya sedikit merasa terganggu, ada sejumlah catatan yang perlu diangkat agar kedermawanan masyarakat tidak disalahgunakan.

Tak bisa dipungkiri, ada segelintir warga yang terkesan memanfaatkan kedermawanan masyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan yang bersifat permanen. Maksudnya mereka betul-betul hidup mengharapkan kucuran bantuan dari para dermawan, walaupun sebetulnya mereka seharusnya mampu berusaha secara mandiri.

Buktinya, betapa seringnya kita membaca berita para pengemis yang terjaring razia Satpol PP di suatu kota yang ternyata punya banyak uang. Ironisnya mereka begitu "kreatif" merekayasa tubuhnya menjadi seolah-olah seorang penyandang cacat.

Di lingkungan keluarga saya sendiri, saya punya beberapa saudara sepupu yang mohon maaf saya duga berwatak lebih sering mengharapkan belas kasihan saudara-saudara lain yang punya pendapatan tetap.

Kecurigaan saya muncul karena saya sering menghubungi saudara lain, dan terungkap cerita bahwa si A, nama saudara sepupu yang berwatak pemalas itu, punya kebiasaan untuk mempergilirkan para pihak yang dihubunginya untuk meminta bantuan.

Saya sendiri, sebetulnya tidak begitu terganggu, pada awalnya setiap si A minta bantuan, ya saya bantu. Tapi saudara saya yang lain tampaknya mulai tidak sabar lagi dan menyetop bantuan, sehingga saya menjadi orang yang lebih sering dimintai bantuan.

Itupun tidak saya permasalahkan, sampai akhirnya saya "dimarahi" kakak saya dengan mengatakan cara saya seperti itu tidak mendidik. Sebuah hal yang dilematis bagi saya, karena punya prinsip membantu seseorang harus ikhlas. Kalau yang dibantu ternyata mengarang cerita bohong, saya anggap itu masalah lain.

Oke mohon maaf agak ngelantur ke cerita pribadi. Kembali ke soal kedermawanan masyarakat kita, poin saya adalah, apakah dari sebanyak itu bantuan yang diberikan atas dasar kedermawanan masyarakat banyak, sudah bersifat mendidik, yang memberi kail, bukan memberi ikan?

Konteks tulisan saya tidak dikhususkan buat dampak Covid-19 semata, karena kalau saat ini memang kita tidak perlu berdebat lagi mau memberi kail atau ikan, karena sebagian warga sudah pada taraf "lapar berat".

Catatan lain adalah terkait soal pencitraan. Tanpa mengurangi apresiasi pada banyak pihak yang demikian tulus menggalang bantuan serta menyalurkannya ke warga yang layak menerima, masih saja kita jumpai bantuan yang didompleng oleh kepentingan politik. Maka gambar seorang pejabat atau tokoh yang diduga kuat akan bertarung di pilkada ikut menghiasi paket bantuan.

Demikian pula adu pamer foto atau vodeo di media sosial ketika seseorang atau sebuah organisasi melakukan aksi sosial. Cara mendeteksinya gampang, ekspresi sedih atau ekspresi simpati yang sebaiknya terlihat, malah berganti dengan ekspresi tersenyum ke arah kamera. Malah ada yang bergaya.

Hal lain lagi sebagai catatan terakhir, bukan soal kedermawanan masyarakat, justru bantuan sosial dari pemerintah yang terlihat adakalanya bermasalah. Data penerima yang tidak akurat, keterlambatan penyaluran padahal pidato pejabat di televisi telah memberi angin surga jauh sebelumnya, dan kemungkinan  masih adanya dana bantuan yang dikorup oknum tertentu, harus jadi bahan evaluasi.

Kita bersyukur bahwa Indonesia diakui dunia sebagai bangsa yang dermawan. Namun sejumlah perbaikan perlu dilakukan, agar  hasilnya lebih baik lagi dari waktu ke waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun