Sebetulnya judul tulisan ini tidak perlu memakai tanda tanya, karena saya haqqul yakin kita bangsa yang dermawan. Masalahnya saya sedikit merasa terganggu, ada sejumlah catatan yang perlu diangkat agar kedermawanan masyarakat tidak disalahgunakan.
Tak bisa dipungkiri, ada segelintir warga yang terkesan memanfaatkan kedermawanan masyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan yang bersifat permanen. Maksudnya mereka betul-betul hidup mengharapkan kucuran bantuan dari para dermawan, walaupun sebetulnya mereka seharusnya mampu berusaha secara mandiri.
Buktinya, betapa seringnya kita membaca berita para pengemis yang terjaring razia Satpol PP di suatu kota yang ternyata punya banyak uang. Ironisnya mereka begitu "kreatif" merekayasa tubuhnya menjadi seolah-olah seorang penyandang cacat.
Di lingkungan keluarga saya sendiri, saya punya beberapa saudara sepupu yang mohon maaf saya duga berwatak lebih sering mengharapkan belas kasihan saudara-saudara lain yang punya pendapatan tetap.
Kecurigaan saya muncul karena saya sering menghubungi saudara lain, dan terungkap cerita bahwa si A, nama saudara sepupu yang berwatak pemalas itu, punya kebiasaan untuk mempergilirkan para pihak yang dihubunginya untuk meminta bantuan.
Saya sendiri, sebetulnya tidak begitu terganggu, pada awalnya setiap si A minta bantuan, ya saya bantu. Tapi saudara saya yang lain tampaknya mulai tidak sabar lagi dan menyetop bantuan, sehingga saya menjadi orang yang lebih sering dimintai bantuan.
Itupun tidak saya permasalahkan, sampai akhirnya saya "dimarahi" kakak saya dengan mengatakan cara saya seperti itu tidak mendidik. Sebuah hal yang dilematis bagi saya, karena punya prinsip membantu seseorang harus ikhlas. Kalau yang dibantu ternyata mengarang cerita bohong, saya anggap itu masalah lain.
Oke mohon maaf agak ngelantur ke cerita pribadi. Kembali ke soal kedermawanan masyarakat kita, poin saya adalah, apakah dari sebanyak itu bantuan yang diberikan atas dasar kedermawanan masyarakat banyak, sudah bersifat mendidik, yang memberi kail, bukan memberi ikan?
Konteks tulisan saya tidak dikhususkan buat dampak Covid-19 semata, karena kalau saat ini memang kita tidak perlu berdebat lagi mau memberi kail atau ikan, karena sebagian warga sudah pada taraf "lapar berat".
Catatan lain adalah terkait soal pencitraan. Tanpa mengurangi apresiasi pada banyak pihak yang demikian tulus menggalang bantuan serta menyalurkannya ke warga yang layak menerima, masih saja kita jumpai bantuan yang didompleng oleh kepentingan politik. Maka gambar seorang pejabat atau tokoh yang diduga kuat akan bertarung di pilkada ikut menghiasi paket bantuan.
Demikian pula adu pamer foto atau vodeo di media sosial ketika seseorang atau sebuah organisasi melakukan aksi sosial. Cara mendeteksinya gampang, ekspresi sedih atau ekspresi simpati yang sebaiknya terlihat, malah berganti dengan ekspresi tersenyum ke arah kamera. Malah ada yang bergaya.