Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meskipun Penuh Risiko, Makin Banyak Perempuan yang Ingin Jadi Dokter

7 April 2020   00:07 Diperbarui: 7 April 2020   06:17 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara praktik dokter yang aman (dok. Pribadi)

Tanpa terasa, air mata saya selalu menetes setiap kali di layar kaca menampilkan lagu "Demi Raga yang Lain". Dalam salah satu bait liriknya, Eka Gustiwana dan Yessiel Trivena, sang pencipta lagu, menulis begini: dunia telah tersenyum, melihat kau bertaruh nyawa, tak pedulikan yang kau punya, demi raga yang lain.

Sebetulnya lagu yang sejak tiga minggu terakhir ini sering diputar banyak stasiun televisi itu, bermaksud menyemangati para dokter, perawat, dan paramedis lainnya, yang tanpa mengenal lelah merawat pasien yang terpapar Covid-19. Tapi bagi saya, lagu itu lagu sedih. Barangkali karena di keluarga besar saya lumayan banyak yang berprofesi sebagai dokter.

Setelah adik bungsu saya menjadi dokter, beberapa orang keponakan saya juga mengikuti jejaknya. Tapi para dokter di keluarga saya itu mayoritas perempuan. Selain adik saya yang seorang wanita, dua keponakan wanita juga jadi dokter, serta seorang keponakan wanita yang jadi dokter gigi. 

Hanya satu keponakan pria yang jadi dokter umum. Ada dua keponakan laki-laki yang beristrikan  dokter, seorang dokter umum dan seorang dokter gigi. Jadi, secara total, terdapat tujuh orang dokter di keluarga kami.

Pada diskusi di grup WhatsApp yang beranggotakan keluarga besar saya, adik bungsu yang sekarang menjadi dokter spesialis di daerah Riau, menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini.

Meskipun adik saya tidak terlibat langsung merawat pasien corona yang makin hari makin banyak di Riau, dengan jujur adik saya mengatakan bahwa ia sebetulnya ngeri melaksanakan praktik di poliklinik rumah sakit tempatnya bertugas. 

Justru banyak tenaga kesehatan yang praktik biasa, bukan mewarat pasien corona, yang akhirnya terpapar corona. Hal ini karena pasien yang datang ke poliklinik, berpotensi membawa virus tanpa disadarinya. Sedangkan di poliklinik, kebanyakan dokter tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD).

Tapi dengan penuh rasa tanggung jawab, sang adik menunaikan tugasnya. Ia tidak tega karena banyak teman sejawatnya yang minta cuti. Sedangkan dokter yang sudah berusia di atas 60 tahun, disuruh cuti oleh pihak rumah sakit. Dokter yang baru pulang dari daerah wabah seperti Jakarta, diminta melakukan karantina mandiri selama 14 hari.

Seraya meminta maaf kepada semua anggota grup karena sudah lama tidak nongol memberi komentar atau mengirim pesan, sang adik membeberkan rahasia kenapa ia merasa tetap bersemangat dalam bekerja.

Rahasianya tergambar pada ayat suci Al Qur'an, surat Al-Hijr ayat 4 yang artinya: "Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan''. Berlanjut ke ayat 5 yang berarti: "Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak pula dapat mengundurkannya.

Adik saya menutup pesannya bagi anggota grup, khususnya para keponakan yang menjadi dokter, agar jangan takut, tapi tentu dengan upaya yang maksimal dan APD yang memadai. Kemudian saya dan para anggota grup lainnya saling memanjatkan doa untuk keselematan bersama dan juga doa untuk bangsa Indonesia agar segera dijauhi oleh virus yang menakutkan itu.

Diam-diam saya bangga dengan adik saya, juga para keponakan saya yang telah dengan mantap memilih dokter sebagai ladang pengabdiannya. Dulu sebelum ada badai virus corona ini, publik belum begitu memahami risiko seorang dokter. Tapi sekarang semuanya sudah memahami, menjadi dokter itu termasuk tinggi risikonya. Namun dengan demikian sangat besar pula nilai amal seorang dokter.

Ironisnya, tanpa bermaksud diskriminatif, saya melihat ada fenomena yang semakin nyata sejak belasan tahun terakhir ini, yakni betapa tingginya animo perempuan untuk kuliah di fakultas kedokteran (FK). Hal ini terkonfirmasi dari tulisan Dr. Samsuridjal Djauzi, pengasuh rubrik konsultasi kesehatan harian Kompas setiap Sabtu.

Pada Sabtu (4/4/2020) lalu, seorang bapak bertanya pada Samsuridjal terkait keinginan anak perempuannya yang sangat ingin masuk FK. Di lain pihak si bapak sangat cemas dengan risiko pekerjaan seorang dokter. Jawaban dari Samruridjal berupa apresiasi dan menyemangati agar impian sang remaja putri bisa terwujud.

Terselip pula data dari Samsuridjal bahwa saat ini mahasiswa FK lebih dari 60% adalah wanita, berbeda dengan zaman ia kuliah dulu yang dominan pria. Tapi ternyata dokter wanita tidak kalah tangguh ketimbang pria, bahkan tanpa meninggalkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Luar biasa.

Saya teringat kembali dengan perjuangan adik saya saat memulai karir sebagai dokter di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar. Ketika itu ia sudah punya  bayi, tapi bertugas di kawasan yang relatif terpencil, jauh dari kota kecamatan, dengan medan yang sulit di balik bukit. 

Adik saya bahkan dengan tekun belajar lagi saat punya anak tiga orang, menuntaskan pendidikan spesialisnya. Eh bukannya pendidikannya berakhir, setelah anak bungsunya (anak ke-4) lahir, ia melanjutkan lagi pendidikan subspesialis di FKUI dan berhasil meraih gelar konsultan.

Sebagai penutup, kembali saya dengar lagi lagu "Demi Raga yang Lain". Kali ini saya tidak menangis, tapi bersemangat membayangkan perjuangan para dokter, perawat, dan paramedis lainnya bertempur mengusir virus corona.

Saya sepakat dengan lirik lagunya berikut ini: engkau pahlawan dunia, Tuhan yang akan membalas semua, jerih lelah yang tak ternilai, demi raga yang lain.

Dok. Antara/Jessica Helena Wuysang
Dok. Antara/Jessica Helena Wuysang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun