Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meskipun Penuh Risiko, Makin Banyak Perempuan yang Ingin Jadi Dokter

7 April 2020   00:07 Diperbarui: 7 April 2020   06:17 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cara praktik dokter yang aman (dok. Pribadi)

Diam-diam saya bangga dengan adik saya, juga para keponakan saya yang telah dengan mantap memilih dokter sebagai ladang pengabdiannya. Dulu sebelum ada badai virus corona ini, publik belum begitu memahami risiko seorang dokter. Tapi sekarang semuanya sudah memahami, menjadi dokter itu termasuk tinggi risikonya. Namun dengan demikian sangat besar pula nilai amal seorang dokter.

Ironisnya, tanpa bermaksud diskriminatif, saya melihat ada fenomena yang semakin nyata sejak belasan tahun terakhir ini, yakni betapa tingginya animo perempuan untuk kuliah di fakultas kedokteran (FK). Hal ini terkonfirmasi dari tulisan Dr. Samsuridjal Djauzi, pengasuh rubrik konsultasi kesehatan harian Kompas setiap Sabtu.

Pada Sabtu (4/4/2020) lalu, seorang bapak bertanya pada Samsuridjal terkait keinginan anak perempuannya yang sangat ingin masuk FK. Di lain pihak si bapak sangat cemas dengan risiko pekerjaan seorang dokter. Jawaban dari Samruridjal berupa apresiasi dan menyemangati agar impian sang remaja putri bisa terwujud.

Terselip pula data dari Samsuridjal bahwa saat ini mahasiswa FK lebih dari 60% adalah wanita, berbeda dengan zaman ia kuliah dulu yang dominan pria. Tapi ternyata dokter wanita tidak kalah tangguh ketimbang pria, bahkan tanpa meninggalkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Luar biasa.

Saya teringat kembali dengan perjuangan adik saya saat memulai karir sebagai dokter di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar. Ketika itu ia sudah punya  bayi, tapi bertugas di kawasan yang relatif terpencil, jauh dari kota kecamatan, dengan medan yang sulit di balik bukit. 

Adik saya bahkan dengan tekun belajar lagi saat punya anak tiga orang, menuntaskan pendidikan spesialisnya. Eh bukannya pendidikannya berakhir, setelah anak bungsunya (anak ke-4) lahir, ia melanjutkan lagi pendidikan subspesialis di FKUI dan berhasil meraih gelar konsultan.

Sebagai penutup, kembali saya dengar lagi lagu "Demi Raga yang Lain". Kali ini saya tidak menangis, tapi bersemangat membayangkan perjuangan para dokter, perawat, dan paramedis lainnya bertempur mengusir virus corona.

Saya sepakat dengan lirik lagunya berikut ini: engkau pahlawan dunia, Tuhan yang akan membalas semua, jerih lelah yang tak ternilai, demi raga yang lain.

Dok. Antara/Jessica Helena Wuysang
Dok. Antara/Jessica Helena Wuysang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun