Tanpa terasa, air mata saya selalu menetes setiap kali di layar kaca menampilkan lagu "Demi Raga yang Lain". Dalam salah satu bait liriknya, Eka Gustiwana dan Yessiel Trivena, sang pencipta lagu, menulis begini: dunia telah tersenyum, melihat kau bertaruh nyawa, tak pedulikan yang kau punya, demi raga yang lain.
Sebetulnya lagu yang sejak tiga minggu terakhir ini sering diputar banyak stasiun televisi itu, bermaksud menyemangati para dokter, perawat, dan paramedis lainnya, yang tanpa mengenal lelah merawat pasien yang terpapar Covid-19. Tapi bagi saya, lagu itu lagu sedih. Barangkali karena di keluarga besar saya lumayan banyak yang berprofesi sebagai dokter.
Setelah adik bungsu saya menjadi dokter, beberapa orang keponakan saya juga mengikuti jejaknya. Tapi para dokter di keluarga saya itu mayoritas perempuan. Selain adik saya yang seorang wanita, dua keponakan wanita juga jadi dokter, serta seorang keponakan wanita yang jadi dokter gigi.Â
Hanya satu keponakan pria yang jadi dokter umum. Ada dua keponakan laki-laki yang beristrikan  dokter, seorang dokter umum dan seorang dokter gigi. Jadi, secara total, terdapat tujuh orang dokter di keluarga kami.
Pada diskusi di grup WhatsApp yang beranggotakan keluarga besar saya, adik bungsu yang sekarang menjadi dokter spesialis di daerah Riau, menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini.
Meskipun adik saya tidak terlibat langsung merawat pasien corona yang makin hari makin banyak di Riau, dengan jujur adik saya mengatakan bahwa ia sebetulnya ngeri melaksanakan praktik di poliklinik rumah sakit tempatnya bertugas.Â
Justru banyak tenaga kesehatan yang praktik biasa, bukan mewarat pasien corona, yang akhirnya terpapar corona. Hal ini karena pasien yang datang ke poliklinik, berpotensi membawa virus tanpa disadarinya. Sedangkan di poliklinik, kebanyakan dokter tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD).
Tapi dengan penuh rasa tanggung jawab, sang adik menunaikan tugasnya. Ia tidak tega karena banyak teman sejawatnya yang minta cuti. Sedangkan dokter yang sudah berusia di atas 60 tahun, disuruh cuti oleh pihak rumah sakit. Dokter yang baru pulang dari daerah wabah seperti Jakarta, diminta melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
Seraya meminta maaf kepada semua anggota grup karena sudah lama tidak nongol memberi komentar atau mengirim pesan, sang adik membeberkan rahasia kenapa ia merasa tetap bersemangat dalam bekerja.
Rahasianya tergambar pada ayat suci Al Qur'an, surat Al-Hijr ayat 4 yang artinya: "Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan''. Berlanjut ke ayat 5 yang berarti: "Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak pula dapat mengundurkannya.
Adik saya menutup pesannya bagi anggota grup, khususnya para keponakan yang menjadi dokter, agar jangan takut, tapi tentu dengan upaya yang maksimal dan APD yang memadai. Kemudian saya dan para anggota grup lainnya saling memanjatkan doa untuk keselematan bersama dan juga doa untuk bangsa Indonesia agar segera dijauhi oleh virus yang menakutkan itu.