Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Anggota Keluarga dan Sahabat Dekat Diisolasi di Rumah Sakit

1 April 2020   00:01 Diperbarui: 1 April 2020   10:06 3053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika saya menggunakan grup WA sebagai orang pertama menyampaikan pesan, bisa jadi saya dapat "nama" di mata teman-teman anggota grup sebagai orang yang tanggap dan cepat dalam berburu informasi. Tapi di mata teman saya yang menjadi "objek" jelas membuatnya tidak nyaman.

Sementara untuk menelpon secara langsung juga bukan menjadi pilihan saya. Soalnya saya tidak tahu apakah teman itu lagi dalam kondisi siap buat berbicara langsung.

Saya sengaja tidak bertanya kenapa kok bisa diisolasi. Juga tidak perlu bertanya apakah statusnya PDP (pasien dalam pengawasan) atau tidak. Apalagi kalau meminta si teman menceritakan secara kronologis perkembangannya selama di rumah sakit, itu akan menyiksanya.

Kurang bijak juga saya kira kalau diberikan berbagai nasehat atau saran untuk mencoba ramuan tertentu. Termasuk memberikan sudut pandang dari sisi agama, juga tidak perlu dilakukan.

Di samping memang bukan kebiasaan saya untuk memposting pesan religius yang bertebaran di media sosial dan tinggal comot saja, teman saya ini pengetahuan agamanya jauh lebih dalam ketimbang saya.

Akhirnya seperti saya tulis di atas, dalam pesan japri itu saya hanya sekadar menyampaikan doa saja. Tapi saya lumayan kaget, teman saya malah membalas dengan emoji orang lagi tertawa dan menyambung dengan menulis bahwa ia lagi santai sambil bergoyang kaki. "Judulnya stay at....", lanjutnya sambil menuliskan sebuah nama rumah sakit di Jakarta Selatan.

Akhirnya saya tersadar, apa yang dialami teman saya jangan dipandang sebagai hal yang mencekam. Menghadapinya dengan agak santai sambil tetap waspada merupakan sikap yang baik. Kalau kita stres malah menurunkan daya tahan tubuh. Untunglah teman saya tidak kehilangan selera humornya meskipun diisolasi untuk waktu yang lumayan lama.

Toh sekarang ini sebetulnya siapapun berpotensi terpapar virus yang menghantui semua orang di seluruh dunia itu. Tidak pandang apakah ia orang kaya atau orang miskin, pejabat tinggi atau hanya kroco di kantor.

Kita tentu harus secara disiplin menjalankan instruksi pemerintah untuk menjaga jarak dengan orang lain, menggunakan masker bila keluar rumah, sering-sering mencuci tangan pakai sabun dan dibilas dengan air yang megalir, dan sebagainya.

Ruang Isolasi di sebuah rumah sakit (dok. suara.com)
Ruang Isolasi di sebuah rumah sakit (dok. suara.com)
Namun kalau ada sahabat atau keluarga yang menderita gejala mirip terpapar virus corona, jangan buru-buru panik. Belum tentu betul-betul terpapar. 

Kalaupun betul terpapar virus, belum tentu sakit. Bisa saja tetap sehat dalam arti masih bagus kondisi fisik dan mentalnya, hanya tetap perlu diisolasi agar tidak menulari orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun