Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Anggota Keluarga dan Sahabat Dekat Diisolasi di Rumah Sakit

1 April 2020   00:01 Diperbarui: 1 April 2020   10:06 3053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah sakit.(healthcareitnews.com)

Begitu banyak cerita tentang virus Corona atau Covid-19 bersliweran di media sosial, menjadikan saya sangat selektif dalam memilih referensi. 

Sejauh ini saya sengaja rutin menyimak penjelasan juru bicara pemerintah dalam hal penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, yang setiap sore tampil di layar kaca.

Menurut saya, paparan dari sang juru bicara merupakan hal yang paling layak dipercaya. Sedangkan postingan yang melimpah di media sosial, banyak yang saya lewatkan, karena kebanyakan seperti sengaja menakut-nakuti masyarakat. Banyak pula nasehat cara mencegahnya yang berasal dari sumber yang kurang jelas atau belum teruji.

Suatu malam, anak saya bercerita bahwa di Instagram teman SMA-nya terbaca tulisan bahwa ayahnya sedang diisolasi di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Sebelumnya si anak bersama ibunya ikut mengantarkan sang ayah ke rumah sakit, lalu menunggu sekian lama sampai melewati malam di sana. Kemudian keputusan dari pihak rumh sakit, si ayah harus diisolasi, sehingga anak dan ibunya pulang kembali ke rumahnya.

Saya merupakan teman baik dari ayahnya maupun dengan ibunya, karena keduanya merupakan teman kuliah saya dan dulu kami sering belajar bersama.

Agak sulit saya menebak, apakah sang anak yang menulis kisah ayahnya di atas, dalam kondisi galau atau bisa memahami bahwa tindakan mengisolasi ayahnya merupakan langkah terbaik yang harus dihadapi.

Menjadi masalah bagi saya bagaimana caranya menghubungi teman ini. Tentu saya ingin menyampaikan rasa simpati, menyampaikan doa untuk kesembuhannya serta menyemangati dalam menjalani masa isolasi.

Saya perhatikan lalu lintas pembicaraan di grup media sosial yang beranggotakan teman-teman kuliah dulu, tidak ditemukan cerita tentang teman yang lagi diisolasi tersebut. 

Ini pertanda bagus, karena begitu hal serupa ini disampaikan di grup media sosial, berbagai komentar dari semua anggota akan cenderung tidak terkendali. Akibatnya bisa saja makin menyudutkan teman yang lagi berjuang memulihkan kesehatannya.

Agak sulit juga untuk memulai komunikasi, meski saya sudah mantap untuk sekadar mengirim pesan secara japri menggunakan WhatsApp (WA). 

Jika saya menggunakan grup WA sebagai orang pertama menyampaikan pesan, bisa jadi saya dapat "nama" di mata teman-teman anggota grup sebagai orang yang tanggap dan cepat dalam berburu informasi. Tapi di mata teman saya yang menjadi "objek" jelas membuatnya tidak nyaman.

Sementara untuk menelpon secara langsung juga bukan menjadi pilihan saya. Soalnya saya tidak tahu apakah teman itu lagi dalam kondisi siap buat berbicara langsung.

Saya sengaja tidak bertanya kenapa kok bisa diisolasi. Juga tidak perlu bertanya apakah statusnya PDP (pasien dalam pengawasan) atau tidak. Apalagi kalau meminta si teman menceritakan secara kronologis perkembangannya selama di rumah sakit, itu akan menyiksanya.

Kurang bijak juga saya kira kalau diberikan berbagai nasehat atau saran untuk mencoba ramuan tertentu. Termasuk memberikan sudut pandang dari sisi agama, juga tidak perlu dilakukan.

Di samping memang bukan kebiasaan saya untuk memposting pesan religius yang bertebaran di media sosial dan tinggal comot saja, teman saya ini pengetahuan agamanya jauh lebih dalam ketimbang saya.

Akhirnya seperti saya tulis di atas, dalam pesan japri itu saya hanya sekadar menyampaikan doa saja. Tapi saya lumayan kaget, teman saya malah membalas dengan emoji orang lagi tertawa dan menyambung dengan menulis bahwa ia lagi santai sambil bergoyang kaki. "Judulnya stay at....", lanjutnya sambil menuliskan sebuah nama rumah sakit di Jakarta Selatan.

Akhirnya saya tersadar, apa yang dialami teman saya jangan dipandang sebagai hal yang mencekam. Menghadapinya dengan agak santai sambil tetap waspada merupakan sikap yang baik. Kalau kita stres malah menurunkan daya tahan tubuh. Untunglah teman saya tidak kehilangan selera humornya meskipun diisolasi untuk waktu yang lumayan lama.

Toh sekarang ini sebetulnya siapapun berpotensi terpapar virus yang menghantui semua orang di seluruh dunia itu. Tidak pandang apakah ia orang kaya atau orang miskin, pejabat tinggi atau hanya kroco di kantor.

Kita tentu harus secara disiplin menjalankan instruksi pemerintah untuk menjaga jarak dengan orang lain, menggunakan masker bila keluar rumah, sering-sering mencuci tangan pakai sabun dan dibilas dengan air yang megalir, dan sebagainya.

Ruang Isolasi di sebuah rumah sakit (dok. suara.com)
Ruang Isolasi di sebuah rumah sakit (dok. suara.com)
Namun kalau ada sahabat atau keluarga yang menderita gejala mirip terpapar virus corona, jangan buru-buru panik. Belum tentu betul-betul terpapar. 

Kalaupun betul terpapar virus, belum tentu sakit. Bisa saja tetap sehat dalam arti masih bagus kondisi fisik dan mentalnya, hanya tetap perlu diisolasi agar tidak menulari orang lain.

Sekiranya sakit, belum tentu sakit berat, dan bila sakit berat juga belum tentu akan segera meninggal dunia. Sikap positif dengan tidak berpikir macam-macam yang membuat kita jadi stres, bukan cara yang tepat.

Sikap demikianlah yang saya pakai ketika tak lama setelah saya menghubungi teman yang diisolasi tadi, masuk berita di grup WA yang khusus beranggotakan kakak-kakak saya, adik-adik saya, dan semua anak dan menantunya.

Ternyata seorang keponakan saya, ia seorang dokter berusia relatif muda yang kebetulan menjadi kepala sebuah puskesmas di sebuah kota di Riau, awalnya diduga berstatus PDP.

Memang ada kekhawatiran, mungkin saat bertugas di puskesmas, ia menerima pasien yang baru datang dari Malaysia tapi tidak mengaku baru datang dari negeri jiran tersebut. 

Sekarang ia lagi diisolasi di RSUD setempat, sudah di-swab dan menunggu hasil pemeriksaan yang dikirim ke Jakarta. Tapi kabar baiknya, statusnya bukan lagi PDP, dugaan dokter yang merawatnya, hanya karena kelelahan.

Pesan di grup memang hanya semacam pengumuman dan memohon doa untuk kesembuhan keponakan saya itu. Lalu jika ada yang ditanyakan agar dijapri ke keponakan saya yang lain, yang juga seorang dokter di sebuah puskesmas di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Menurut sang adik, kakaknya cukup kuat mentalnya meskipun tidak segera mendapatkan tindakan yang diharapkannya. Pada hari-hari pertama diisolasi, dokter yang merawatnya hanya melihat dari layar. Justru ibunya yang stres berat memikirkan nasib anaknya.

Padahal si ibu sudah berusia di atas 60 tahun. Segera saya kirim pesan buat si ibu yang juga kakak saya itu, agar jangan berpikir terlalu berat yang malah bisa menimbulkan stres.

Kesimpulannya, bila orang-orang yang kita cintai lagi berjuang buat kesembuhannya, terlepas dari apapun penyakit yang dideritanya, dalam berkomunikasi tidak perlu secara berlebihan, cukup dengan doa. Jangan pula berpikir terlalu jauh yang membuat kita stres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun