Tak ada yang meragukan kebesaran kelompok bisnis Salim, yang diambil dari nama Sudono Salim alias Liem Sioe Liong sebagai pendirinya. Sepanjang Orde Baru, tak ada yang mampu menandingi kerajaan bisnisnya.
Krisis moneter tahun 1998 membuat Grup Salim banyak kehilangan asetnya. Yang paling strategis adalah lepasnya lumbung uangnya, Bank Central Asia (BCA), yang sekarang dikuasai Grup Djarum.
Apalagi krisis moneter tersebut juga menjadi momentum gerakan reformasi yang mengakhiri rezim Soeharto. Banyak pengamat yang memprediksi, jatuhnya Soeharto, yang notabene adalah sahabat baik Sudono Salim, pertanda akan menyeret kejatuhan Grup Salim.
Tapi yang namanya bisnis selalu punya celah untuk bangkit lagi. Anthoni Salim, salah seorang anak Sudono Salim, yang sekarang menjadi pemimpin Grup Salim, dengan cerdik berhasil mempertahankan Indofood, meskipun sempat akan disita saat krisis moneter dulu.
Dengan produk unggulannya berupa mie instan dengan merek amat terkenal, Indomie, yang juga disukai di banyak negara lain, pundi-pundi Grup Salim, kembali membukit, atau mungkin lebih tepat disebut menggunung.
Lazim saja bila sebuah grup bisnis sudah membesar, akan tergoda untuk memiliki bank. Soalnya bank diperkenankan untuk menarik dana dari masyarakat, baik berupa tabungan, giro, atau deposito.
Bukankah dengan simpanan masyarakat di bank yang dimiliki oleh sebuah grup bisnis, uang itu bisa diputarkan ke berbagai perusahaan yang satu grup dengan bank tersebut?
Memang sekarang ada regulasi yang ketat, di mana sebuah bank dalam menyalurkan kredit kepada sebuah perusahaan atau kepada suatu grup bisnis, dibatasi maksimal sebesar persentase tertentu dari jumlah modal yang dimiliki bank itu.
Tapi bagaimanapun juga, memiliki bank tetap menjadi keinginan banyak grup bisnis. Sepertinya tak lengkap rasanya bila belum punya bank.
Grup Lippo yang sudah melepas Bank Lippo ke CIMB Niaga, sekarang sudah punya Bank Nobu. Eka Tjipta Widjaja dulu berjaya dengan Bank Internasional Indonesia, namun juga terkena badai krisis moneter. Tapi sekarang grup ini sudah punya gantinya, Bank Sinarmas.
Berikutnya ada Grup Sampoerna yang membeli Bank Dipo dan diganti namanya menjadi Bank Sampoerna. Grup MNC sudah punya MNC Bank. Citicorp yang dimiliki Chairul Tanjung juga punya Bank Mega.
Tentu daftar di atas masih bisa diperpanjang lagi. Namun ada juga grup bisnis yang terlihat kapok punya bank, karena memang tidak gampang mengelolanya bila tidak mendapatkan pengurus yang ahli, dan yang paling penting yang berintegritas tinggi.
Sebagai contoh, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dulu pernah punya bank. Demikian pula Grup Bakrie. Setidaknya sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda grup ini akan memasuki bisnis perbankan.
Nah kembali ke Grup Salim, baru-baru ini terbetik kabar bahwa grup ini telah mengakuisisi saham Bank Ina Perdana. Hal itu terungkap dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana, yang memang sudah berstatus perusahaan terbuka di mana sebagian sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com (15/1/2020), terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina, di mana perusahaan Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali, dari sebelumnya hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik Pieter Tanuri yang lebih dikenal sebagai pemilik klub sepak bola Bali United.
Publik tinggal menunggu apakah akan ada gebrakan Bank Ina untuk menarik perhatian masyarakat. Soalnya bank ini relatif tidak begitu terkenal dan kantor cabangnya hanya terdapat di beberapa kota besar saja.
Namun dengan kecanggihan teknologi, bank di era sekarang memang tidak harus memperbanyak kantor cabang untuk melakukan ekspansi.
Dengan semakin berkembangnya bisnis grup usaha yang lazim disebut sebagai kelompok konglomerat ini, masuknya mereka ke bisnis perbankan tak terhindarkan lagi. Karena memang akan saling menunjang dengan bisnis mereka di sektor  riil.
Tentu mereka akan mengutamakan arus kas dan arus transaksinya dilakukan melalui bank milik kelompoknya sendiri. Tapi sangat diharapakan agar para konglomerat tidak mengulang kembali kesalahan mereka sewaktu terlibat euforia mendirikan bank seperti di dekade 1990-an dulu.
Memang ketika itu dengan kebijakan "Pakto 88" atau paket Kebijakan Oktober 1988", Bank Indonesia (BI) sebagai regulator ketika itu mempermudah syarat mendirikan suatu bank.
Ibarat kata, seperti kata bayak pengamat, pedagang kelontong pun bisa membuat bank, dan mereka mengelola bank seperti mengelola toko kelontongnya.
Maka tak heran bank-bank yang tidak dikelola dengan prinsip prudential banking itu, tersapu gelombang krisis moneter, di akhir dekade 1990-an.
Adapun sekarang, bisnis perbankan sangat diatur secara ketat dan diawasi secara berlapis, baik di tingkat internal bank, maupun dari luar seperti dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kantor Akuntan Publik (KAP), dan sebagainya.
Bank diwajibkan menerapkan prinsip manajemen risiko, prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik), dan harus mempunyai seorang direktur kepatuhan yang memastikan bank tersebut telah mematuhi ketentuan perundang-undangan dan regulasi terkait lainnya.
Pada akhirnya kita berharap, terjunnya para konglomerat ke dalam bisnis perbankan, tidak berdampak untuk menambah kekayaan grup bisnisnya semata, tapi juga memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Caranya bisa dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak dan mengucurkan kredit bagi pelaku usaha kecil yang punya potensi untuk berkembang, namun kekurangan modal.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H