Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Setelah Lama Kehilangan BCA, Grup Salim Kembali Punya Bank

27 Januari 2020   00:07 Diperbarui: 27 Januari 2020   00:16 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu daftar di atas masih bisa diperpanjang lagi. Namun ada juga grup bisnis yang terlihat kapok punya bank, karena memang tidak gampang mengelolanya bila tidak mendapatkan pengurus yang ahli, dan yang paling penting yang berintegritas tinggi.

Sebagai contoh, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dulu pernah punya bank. Demikian pula Grup Bakrie. Setidaknya sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda grup ini akan memasuki bisnis perbankan.

Nah kembali ke Grup Salim, baru-baru ini terbetik kabar bahwa grup ini telah mengakuisisi saham Bank Ina Perdana. Hal itu terungkap dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana, yang memang sudah berstatus perusahaan terbuka di mana sebagian sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com (15/1/2020), terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina, di mana perusahaan Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali, dari sebelumnya hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik Pieter Tanuri yang lebih dikenal sebagai pemilik klub sepak bola Bali United.

Publik tinggal menunggu apakah akan ada gebrakan Bank Ina untuk menarik perhatian masyarakat. Soalnya bank ini relatif tidak begitu terkenal dan kantor cabangnya hanya terdapat di beberapa kota besar saja.

Namun dengan kecanggihan teknologi, bank di era sekarang memang tidak harus memperbanyak kantor cabang untuk melakukan ekspansi.

Dengan semakin berkembangnya bisnis grup usaha yang lazim disebut sebagai kelompok konglomerat ini, masuknya mereka ke bisnis perbankan tak terhindarkan lagi. Karena memang akan saling menunjang dengan bisnis mereka di sektor  riil.

Tentu mereka akan mengutamakan arus kas dan arus transaksinya dilakukan melalui bank milik kelompoknya sendiri. Tapi sangat diharapakan agar para konglomerat tidak mengulang kembali kesalahan mereka sewaktu terlibat euforia mendirikan bank seperti di dekade 1990-an dulu.

Memang ketika itu dengan kebijakan "Pakto 88" atau paket Kebijakan Oktober 1988", Bank Indonesia (BI) sebagai regulator ketika itu mempermudah syarat mendirikan suatu bank.

Ibarat kata, seperti kata bayak pengamat, pedagang kelontong pun bisa membuat bank, dan mereka mengelola bank seperti mengelola toko kelontongnya.

Maka tak heran bank-bank yang tidak dikelola dengan prinsip prudential banking itu, tersapu gelombang krisis moneter, di akhir dekade 1990-an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun