Perjalanan kami berlanjut ke Jetty Clan, sebuah kampung terapung mirip yang saya temukan di Bontang, Kalimantan Timur. Jalannya berupa gang berlantai papan. Di kiri kanannya banyak penjual cenderamata yang sekaligus untuk memberdayakan masyarakat setempat yang rata-rata adalah pedagang kecil.
Objek wisata berbasis warga kampung seperti itu juga mulai marak di negara kita, seperti di Pantai Kenjeran Surabaya atau di Bontang yang telah saya singgung di atas.
Di sini banyak terlihat hiasan mural dan ornamen yang menjadi spot untuk berfoto. Sebuah spot dengan latar belakang sepeda ontel menjadi favorit para turis.
Sepeda memang menjadi ikon pariwisata Penang. Mungkin dulunya Penang identik dengan kota sepeda, mirip Yogyakarta era jadul. Berbagai art shop dan  galeri lukisan terdapat di sini.
Saya minim es cendol di pinggir jalan, satu gelas dihargai 4 ringgit, atau sekitar Rp 15.000. Kalau di pinggir jalan di Jakarta dengan rasa yang lebih enak, hanya Rp 5.000.Â
Perjalanan saya berlanjut menyusuri kawasan kota yang modern di Gurney. Sekadar ingin tahu saja, saya masuk ke mal terbaik di Penang, Gurney Plaza. Tapi soal mal, kita tidak kalah megah dengan Malaysia.
Ada yang menarik, bioskop  atau pawagam menurut istilah Malaysia, di plaza tersebut, salah satu layarnya menayangkan film Indonesia, Gundala. Memang film, sinetron dan musik Indonesia diterima dengan baik oleh publik Malaysia.
Namun saya melihat banyak juga produk mie dan biskuit yang diimpor dari Indonesia. Artinya produk kita sudah mampu bersaing.