Kasus yang menimpa salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang asuransi masih saja ramai diberitakan media massa.
Jiwasraya, begitu nama BUMN tersebut, sebetulnya telah lebih satu tahun mengalami kesulitan likuiditas yang parah, sehingga tidak mampu memenuhi pengembalian uang nasabah yang sudah jatuh tempo.
Tapi dengan pergantian Menteri BUMN dari Rini Soemarno kepada Erick Thohir, kasus ini semakin terkuak, bahkan jadi melebar liar ke masalah politik dan juga dugaan korupsi.
Terlepas dari soal politik dan korupsi, yang jelas kalau dibaca dari apa yang ditulis media massa, jelas penyebab utama kasus Jiwasraya adalah karena kesalahan dalam melakukan investasi yang tidak memenuhi tata kelola perusahaan yang baik.
Disebutkan bahwa pimpinan Jiwasraya periode sebelumnya terlalu berani menanamkan uang dengan membeli saham gorengan yang sangat spekulatif.
Tentu saja harapannya adalah saham gorengan yang dibeli cepat terkerek harganya, sehingga apabila dijual kembali, cukup untuk membayar uang nasabah plus bunganya, dan masih bersisa sebagai keuntungan buat perusahaan.
Apa itu saham gorengan? Saham gorengan merupakan istilah yang lazim dipakai untuk saham yang sangat fluktuatif harganya dan diduga ada pihak-pihak tertentu yang memainkannya.
Suatu ketika harga sahamnya dikerek naik tajam yang bisa berlangsung beberapa hari dengan kecenderungan terus melejit tanpa kejelasan apa yang melatarbelakanginya.Â
Pada kesempatan lain harganya anjlok tajam. Parahnya karena pada dasarnya perusahaan yang sahamnya dikategorikan gorengan, memang kinerja keuangannya relatif tidak bagus, pas harganya turun, bisa lama sekali terpuruknya.
Perusahaan papan atas yang kokoh secara fundamental, bukankah termasuk saham gorengan. Hanya saja harga saham perusahaan papan atas relatif mahal.Â
Bank-bank BUMN, BCA, Unilever, Astra, dan perusahaan terkemuka lainnya, sahamnya tergolong blue chip alias saham unggulan.Â
Harganya dalam jangka panjang, cenderung naik secara konsisten, meskipun sesekali juga turun, namun tidak begitu signifikan.
Makanya bagi perusahaan asuransi yang memakai uang yang diterima dari nasabah untuk berinvestasi, yang aman memang membeli saham blue chip.
Sebaliknya bila membeli saham gorengan, sangat riskan. Uang yang ditanamkan bisa tenggelam tak berbekas. Itulah yang terjadi pada kasus Jiwasraya.Â
Dilansir dari wartaekonomi.co.id (26/12/2019), saham gorengan yang membuat Jiwasraya terpuruk antara lain saham Inti Agri Resources, SMR Utama, dan Alfa Energi Investama.
Kemudian dari berita di detik.com, saham gorengan yang juga dikoleksi Jiwasraya antara lain adalah Prima Cakrawala Abadi, Eureka Prima Jakarta, Graha Andrasentra Propertindo, Pool Advista Finance, dan Trada Alam Minera.
Mungkin nama-nama perusahaan di atas tidak akrab di telinga publik. Tapi itulah yang menjadi pilihan manajemen Jiwasraya yang lama dalam berinvestasi.
Ketentuan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) bukannya tidak diperbaiki untuk melindungi investor dari permainan saham gorengan yang dilakukan oknum yang bekerja sama dengan perusahaan sekuritas yang menjadi perantara.
Kalau tidak keliru sekarang bila harga saham sebuah perusahaan yang melantai di BEI tiba-tiba naik tajam atau turun tajam melebihi persentase tertentu dari harga sehari sebelumnya, maka perdagangan saham tersebut dihentikan.
Perdagangan saham dimaksud baru dibolehkan kembali setelah manajemen perusahaan memberikan penjelasan ke BEI tentang apa yang terjadi atau apa penyebab dari pergerakan harga yang ekstrim itu.
Namun sampai sekarang, meskipun sudah berkurang, saham gorengan masih saja bergentayangan, paling tidak terbukti dengan apa yang dialami Jiwasraya.
Direktur Utama Jiwasraya sekarang, Hexana Tri Sasongko, menyatakan tidak mau membeli saham gorengan lagi. Hexana membuat panduan investasi yang lebih sehat.
Dalam panduan yang dikutip dari detik.com, investasi dalam bentuk saham yang tergolong blue chip dan reksadana dengan underlying yang sama, dipatok maksimum 20% dari total investasi.
Investasi lainnya adalah obligasi pemerintah, obligasi BUMN, dan obligasi korporat yang memenuhi kriteria investment grade.
Untuk menjaga likuiditas, Jiwasraya sekarang harus punya investasi yang gampang dicairkan berupa kas dan deposito, minimal 10% dari total investasi.
Sambil mengusut tuntas kasus yang menimpa Jiwasraya, diharapkan manajemen baru mampu secara perlahan memperbaiki kondisi perusahaan agar kepercayaan nasabah pulih kembali.Â
Sejumlah mantan pejabat Jiwasraya menurut berita terbaru sudah dicekal sehingga tidak bisa melarikan diri ke luar negeri. Pemeriksaan terhadap pejabat tersebut oleh Kejaksaan Agung akan dimulai Senin (30/12/2019) depan.Â
Kasus Jiwasraya sungguh pelajaran yang teramat mahal. Mereka yang bersalah harus mendapatkan hukuman yang setimpal dan uang nasabah bagaimanapun caranya harus dikembalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H