Bukan perumahan saja yang memakai istilah kapling atau kaveling. Biasanya saat masih berupa tanah kosong namun sudah siap untuk dibangun, oleh perusahaan pengembang di komplek tersebut, tanah itu dibagi atas sekian banyak kapling.
Kapling yang telah terjual tentu tidak bisa dimiliki lagi oleh orang lain, meskipun tanah tersebut dibiarkan menganggur. Kecuali bila yang berminat mau merayu yang punya, bukan bertransaksi dengan perusahaan pengembang.
Nah, ternyata istilah kapling juga digunakan untuk hal lain. Bila ada suatu acara resmi yang mengundang para pejabat pemerintah, sudah pasti tempat duduk beliau-beliau itu berada di barisan paling depan. Dalam hal ini, boleh juga disebut kursi tersebut sudah dikapling.
Meskipun si pejabat belum datang, posisinya tetap aman, karena di kursinya telah tertempel tulisan yang menuliskan nama jabatan atau siapa yang berhak duduk di sana.Â
Demikian pula di ruang parkir kendaraan, terutama di instansi pemerintah dan perusahaan milik negara. Kapling parkir kendaraan pejabat diberi papan bertuliskan nama jabatan yang mendapat fasilitas istimewa itu.
Ada pula sebagai penanda, di lantai parkirnya dicat secara permanen tulisan "Direktur Utama" atau nama jabatan lain. Juga ada yang dilengkapi dengan nomor polisi kendaraan pejabat yang bersangkutan.
Tapi sungguh tidak terbayang dan rasanya sangat kebablasan, bila di masjid, musala, atau ruang salat berjamaah lainnya, ikut-ikutan menuliskan kapling nama jabatan untuk saf (barisan) paling depan.
Dulu di perusahaan milik negara tempat saya lama berkarir, direktur utama dan petinggi lainnya sudah disediakan tempat di saf paling depan bagian tengah. Tapi tak ada tulisan yang menandakan itu, hanya berupa aturan tidak tertulis saja.
Demikian patuhnya jamaah atas aturan tidak tertulis itu, saat mendengar khutbah salat Jumat, tak ada yang berani menduduki "kapling" direktur utama, walaupun si pejabat sudah pasti tidak datang karena lagi bertugas di luar daerah.
Baru pada saat salat dimulai, kapling direktur utama itu mau tak mau harus diisi orang lain, karena imam salat meminta agar jamaah mengisi saf depan yang masih kosong.
Namun sejak zaman reformasi, di perusahaan tersebut tidak ada lagi kebiasaan seperti itu. Direktur utama sekalipun, bila datang terlambat, akan kebagian tempat di saf lebih belakang.Â
Ya, memang begitulah seharusnya. Untuk urusan akhirat, tak bisa membawa atribut jabatan. Tak ada keistimewaan bagi seorang direktur utama. Justru office boy yang lebih bertakwa, di mata Tuhan lebih mulia ketimbang direktur utama.
Makanya ketika di media sosial beredar foto di sebuah tempat salat berjamaah yang bertempelkan nama-nama jabatan, hal ini langsung viral.
Seperti dilansir dari  detik.com (29/11/2019), beredar foto yang viral di media sosial yang menunjukkan saf-saf salat yang sudah ditandai berdasarkan jabatan-jabatan tertentu.
Foto itu disebut-sebut berada di Kementerian BUMN. Tapi untunglah berita tersebut telah dibantah dan pihak Kementerian BUMN menyatakan bahwa hal itu hoax.
Mudah-mudahan sampai kapanpun tak ada instansi pemerintah atau perusahaan milik negara yang mengkapling saf salat khusus untuk para pejabat.Â
Bahwa di setiap instansi ada pengurus kerohanian yang menghormati bos-bos mereka, itu sah-sah saja. Tapi bukan dengan cara memberikan tempat salat khusus pejabat.
Pihak pejabat pun diharapkan pengertiannya agar tidak terlalu jauh mengintervensi kegiatan ibadah. Misalnya dengan meminta kapling khusus dan meminta khutbah Jumat belum dimulai sebelum si bos datang.Â
Bila waktu salat sudah masuk, ada atau tidak ada si bos, harus dimulai. Siapapun jamaah yang datang duluan, berhak duduk di depan, meskipun banyak yang sengaja memilih duduk di belakang.Â
Padahal jelas pahala yang duduk di depan lebih besar. Ibaratnya, yang berada di saf depan mendapatkan unta, yang di belakang hanya dapat telur ayam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H