Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengabadikan Nama Pahlawan, Seberapa Besar Dampaknya dalam Mengatasi Krisis Keteladanan?

10 November 2019   00:07 Diperbarui: 10 November 2019   00:18 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Kita di Indonesia, paling tidak satu tahun sekali, setiap tanggal 10 November selalu memperingati Hari Pahlawan. 

Di kantor-kantor pemerintah, perusahaan milik negara, dan di sekolah-sekolah, rutin menggelar upacara dalam rangka memperingati Hari Pahlawan tersebut.

Tidak hanya pada tanggal 10 November kita mengenang jasa para pahlawan. Pada setiap upacara resmi lainnya, peserta upacara diminta mengheningkan cipta sejenak. 

Bukti paling kasat mata dari bentuk betapa kita sangat menghargai jasa para pahlawan adalah dengan mengabadikan namanya dalam berbagai cara. 

Yang paling menonjol karena pasti berhubungan dengan hampir semua orang di negara kita adalah menggunakan gambar pahlawan pada lembaran uang kertas. 

Meskipun sekarang penggunaan uang elektronik semakin marak, beberapa lembar uang kertas rasanya masih perlu menghias dompet seseorang.

Uang kertas pecahan berapapun pasti ada gambar pahlawannya. Tapi demikian seringnya kita memegang uang, seberapa banyak kita tahu tentang perjuangan pahlawan yang gambarnya kita simpan di dompet?

Sebagai contoh untuk pecahan Rp 50.000 untuk seri yang berlaku sekarang adalah yang bergambar pahlawan nasional Djuanda Kartawidjaja.

Jangan-jangan banyak di antara kita yang tidak peduli siapa itu Djuanda, walaupun sering memegang uang kertas yang bergambar pahlawan yang berasal dari Jawa Barat itu.

Banyak sudah peninggalan Djuanda yang seorang insinyur tersebut. Tapi yang paling besar manfaatnya adalah apa yang disebut dengan Deklarasi Djuanda pada tahun 1957.

Deklarasi itu menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam Kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Hal ini diakui dunia internasional dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).

Untuk pahlawan yang boleh dikatakan paling terkenal, sekaligus menjadi gambar pada uang pecahan terbesar Rp 100.000, dwitunggal proklamator Soekarno-Hatta, bisa jadi kita sangat hafal dengan wajahnya.

Tapi apakah kita menghayati bagaimana hebatnya perjuangan founding father negara kita itu? Sejak usia belia sudah punya visi yang jelas untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, meskipun harus berkali-kali dipenjarakan oleh pemerintah kolonial.

Di samping dipasang pada uang kertas, nama jalan juga menjadi sarana yang  ampuh untuk mengabadikan nama para pahlawan. Namun sesering apapun seseorang melewati Jalan Sudirman yang biasanya jadi nama jalan protokol di banyak kota, mungkin tidak banyak yang tergugah untuk meneladani nilai-nilai kepahlawanan seorang Jenderal Sudirman.

Apalagi untuk nama jalan dari pahlawan yang "kurang terkenal", bisa-bisa masyarakat banyak lupa bahwa itu adalah nama pahlawan. Di kota Depok, Jawa Barat, jalan utamanya adalah Jalan Margonda.

Tapi diduga tidak banyak warga Depok yang tahu, bahwa Margonda adalah seorang pahlawan yang mati muda saat pertempuran melawan Inggris pada tanggal 16 November 1945. Pertempuran itu terjadi di daerah Depok.

Di Padang ada nama jalan Bagindo Aziz Chan, Khatib Sulaiman, Joni Anwar, sekadar menyebut beberapa contoh pahlawan asal kota Padang di awal kemerdekaan Indonesia dulu.

Namun apa boleh buat, generasi tua Sumatera Barat yang tahu sepak terjang para pahlawan di atas, sudah tinggal segelintir. Sedangkan generasi muda tidak tertarik menelusuri, apalagi meneladani perjuangannya.

Selain sebagai nama jalan, nama pahlawan juga diabadikan sebagai nama bandara, nama rumah sakit, nama gedung pertemuan, nama universitas, nama stadion, dan sebagainya.

Namun masalahnya, jika iseng-iseng ditanyakan kepada sejumlah orang secara acak, besar kemungkinan tidak banyak yang bisa menjelaskan siapa itu Gatot Subroto, TB Simatupang, Rasuna Said, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan sebagainya.

Jika rakyat biasa tidak begitu mengenal para pahlawan, mungkin masih bisa dimaafkan. Tapi keterlaluan bila hal sama juga terjadi buat para pejabat pemerintah atau para wakil rakyat.

Tentu bagi para pemimpin yang sekarang menjadi tumpuan harapan kita untuk meraih kejayaan bangsa, sekadar mengenal para pahlawan saja tidaklah cukup. Pertanyaannya adalah, seberapa besar dampak diabadikannya nama pahlawan dalam mengatasi krisis keteladanan? 

Soalnya, tak dapat dipungkiri, sekarang ini kita mengalami krisis keteladanan. Orang-orang yang merasa dirinya mampu, terlihat berburu jabatan demi jabatan itu sendiri, bukan karena nilai-nilai yang diperjuangkannya.

Rakyat hanya didekati dan diiming-imingi ketika musim kampanye saja. Setelah itu tinggal bagi-bagi kursi dan rakyat tetap saja hidup dalam keprihatinan. 

Apa yang pantas diteladani bila para pejabat masih berselera rendah, begitu dapat jabatan, yang terpikirkan adalah proyek apa yang bisa dimainkan. Mungkin agar pulang modal setelah habis-habisan berkampanye atau melakukan lobi-lobi politik. Mungkin pula untuk mengisi kas partai.

Justru yang jadi pahlawan saat ini adalah mereka yang bekerja dalam diam, jauh dari sorotan kamera. Ada yang berjibaku di daerah perbatasan, mengajar anak-anak setempat di sekolah yang atapnya bolong-bolong.

Demikian pula mereka yang diam-diam menanam sebatang demi sebatang pohon di area hutan atau menanam mangrove di pesisir pantai. Padahal di area lain para pengusaha berkolaborasi dengan oknum pejabat untuk membakar hutan. Semuanya demi memupuk harta.

Sungguh perilaku yang jauh dari apa yang diterapkan oleh Bung Hatta. Menjadi Wapres tidak menjadikannya bergelimang harta. Sekadar untuk membeli sepatu yang diidamkannya bermerek Bally, Bung Hatta tidak mampu. 

Alhasil Bung Hatta harus puas dengan menyimpan guntingan iklan sepatu tersebut. Lagipula, pejabat tempo dulu punya perasaan tidak enak hati kalau penampilannya terkesan mewah, sementara tingkat kesejahteraan rakyat masih rendah.

Harusnya kalau wakil rakyat meneladani para pahlawan, area parkir Gedung DPR-RI di Senayan, Jakarta, tidak seperti arena pameran mobil mewah yang memamerkan kekayaan anggota parlemen kita. Inilah bukti betapa berjaraknya rakyat dengan wakilnya.

Biarlah para wakil rakyat asyik dengan "mainannya". Kita tidak boleh pesimis. Masih ada para pahlawan yang tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan kaum marjinal atau masyarakat yang terpinggirkan.

Memang tidak ada lagi Marsinah atau Munir. Tapi ada Butet Manurung, pejuang literasi bagi suku Orang Rimba di pedalaman Jambi. Ada pula Tri Mumpuni, pemberdaya listrik mikrohidro di lebih dari 60 lokasi terpencil di Indonesia.

Tentu masih ada lagi contoh pahlawan yang memilih menjadi social justice warrior seperti itu yang pantas menjadi teladan terutama bagi generasi muda. 

Kita butuh lebih banyak lagi pejuang keadilan dan kesejahteraan sosial untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih cerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun