Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Cinta Tanpa Syarat buat Jakarta

22 Juni 2019   00:17 Diperbarui: 22 Juni 2019   00:20 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalaupun saat mentari bersinar besok pagi, ibu kota negeri ini berpindah ke lain tempat, cinta saya terhadap Jakarta tak berkurang sedikitpun. Makanya di hari ulang tahunnya yang ke 492, 22 Juni 2019 ini, saya ingin mengungkapkan perjalanan cinta saya pada Jakarta yang tanpa syarat.

Padahal menjadi warga Jakarta bukan obsesi saya dulunya. Takdirlah yang menghendaki begitu. Awalnya saya sudah memulai tugas sebagai staf pengajar di almamater saya di Padang. 

Tapi gara-gara proses penerbitan SK saya dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) terlalu lama, iseng-iseng saya mengajukan lamaran kerja setelah membaca iklan di sebuah koran ibu kota.

Justru kantor pusat sebuah perusahaan milik negara lebih awal memberi kepastian buat jadi pegangan masa depan saya. Namun perusahaan itu punya kantor yang tersebar di seluruh tanah air.

Hanya saja bila teman-teman saya banyak yang ditempatkan di kantor cabang yang tersebar itu dan sering berpindah-pindah, saya malah nyaris selalu berada di kantor pusatnya di Jakarta. 

Teman-teman saya yang di daerah mengaku tidak betah kalau lagi di Jakarta, terutama karena macetnya di jalan raya. Saya malah hanya tahan satu sampai dua minggu saja bila lagi berada di luar Jakarta, dan begitu pesawat yang membawa saya mendarat di Bandara Soekarno Hatta, alangkah bahagia rasanya. 

Memang saya sangat meresapi salah satu lagu Koes Plus yang antara lain liriknya berbunyi: "Ke Jakarta aku kan kembali". Bahkan saat saya pulang kampung pun ke Sumatera Barat, terutama setelah kedua orang tua saya tiada, saya selalu menginginkan untuk segera pulang ke Jakarta.

Begitu pula bila saya bepergian ke luar negeri, termasuk ke beberapa negara maju di Eropa atau Amerika, kerinduan kembali ke Jakarta sudah terasa mulai minggu kedua. 

Itulah yang menyebabkan mendarat kembali di Jakarta membuat saya merasa lega. Terasa murahnya naik taksi di Jakarta ketimbang di luar negeri. Terasa sensasinya menikmati berbagai makanan yang kalau di luar negeri harus merogoh saku lebih dalam dengan rasa yang tidak seenak di Jakarta.

Justru cinta pertama saya dengan Jakarta berawal dari banyaknya pedagang makanan baik di kaki lima maupun yang berkeliling dari gang ke gang sampai tengah malam. Baik yang di food court di mal-mal mewah maupun yang dijual mbok-mbok bakulan di pasar becek.

Saya bukannya tak pernah punya pengalaman jelek di ibu kota. Saya pernah kecopetan di bus kota. Dompet yang melayang berisi KTP dan uang sekitar Rp 250.000 yang untuk ukuran tahun 1993 terasa besar sekali bagi saya.

Tapi saya akhirnya berterima kasih karena membuat saya menjadi lebih waspada. Saya juga takut kalau membaca berita-berita kriminal di ibu kota. Namun hikmahnya ya itu tadi, mengajarkan saya untuk berhati-hati, apalagi kalau pulang tengah malam.

Katanya warga Jakarta bersifat individualistis, lu-lu gua-gua, antar tetangga tidak saling kenal. Namun lagi-lagi ini mengajarkan bagaimana menjadi "intel" yang baik dalam menerima tamu tak diundang atau berinteraksi dengan kenalan baru yang sok akrab. 

Bahkan pengemis pun banyak yang  pintar pasang aksi pura-pura cacat atau menyewa bayi yang menangis kepanasan untuk memancing rasa iba yang melihatnya. 

Anak-anak saya yang semua lahir di Jakarta malah lebih berani dari saya dan cepat beradaptasi. Ya, mungkin karena mereka adalah anak Jakarta sementara saya anak kampung yang mencintai Jakarta.

Bila anak gadis saya pulang tengah malam karena menonton konser musik dengan teman-temannya, saya merasa dag dig dug. Tapi ia bilang saya lebai dan dengan percaya diri muncul di rumah meskipun saya ngomel-ngomel.

Orang-orang bilang lalu lintas Jakarta semrawut, bising karena dikit-dikit main klakson, dan seperti disinggung di atas, macet di mana-mana. Namun saya bisa menikmatinya sambil melatih kecerdasan emosional, khususnya memupuk rasa sabar. 

Toh saya merasa bersyukur dengan kemacetan itu. Banyak buku saya lahap dan banyak tulisan saya muncul di kompasiana, justru dengan dalih "membunuh" waktu.

Dulu saja sebelum ada Transjakarta yang berpendingin udara dan berlanjut dengan MRT dan LRT, saya merasa nikmat naik bus tingkat meski kepanasan bercucuran keringat.  

Justru di situlah saya menguji kesetiaan pacar saya. Ternyata ia tidak manja. Malah sangat sayang dengan saya karena ia tak segan mengambil tisu dari tas tangannya kemudian melap keringat saya. Itulah yang menjadikan saya yakin untuk memperistrinya dan sekarang menjadi ibu bagi tiga anak kami.

Saya menikmati melangkahkan kaki menyusuri trotoar jalan protokol di pagi hari. Berpapasan dengan cewek-cewek modis berbau wangi yang berkantor di gedung-gedung jangkung, menjadi sarapan bagi mata saya.

Tapi saya juga bisa menikmati saat berjalan menyusuri gang sempit. Menikmati cerianya anak-anak yang bermain bola di gang tersebut dan ibu-ibu berdaster ngerumpi di depan rumah kecilnya sambil menunggu tukang sayur lewat.

Makanya saya tidak heran dengan warga yang tetap ingin bertahan hidup di gang-gang seperti itu meskipun setelah kebakaran melanda atau setelah terendam oleh banjir. 

Inilah kota yang menawarkan seribu mimpi. Kehidupan malam yang gemerlap dengan para artis top atau artis abal-abal, kafe dan tempat karaoke banyak tersedia. Namun masjid dan musala dengan alunan azannya yang berkumandang syahdu lebih banyak lagi jumlahnya.

Inilah kota yang menghidupi lebih dari 10 juta jiwa warganya. Dari yang selalu pakai jas dan dasi sampai juru parkir liar, pak ogah, pengamen bersuara cempreng, pemulung dan pencoleng, semua kebagian rezeki.

Wajar saja banyak orang daerah yang tergoda mengadu peruntungan di Jakarta. Apalagi bagi yang punya kerabat yang sudah lebih dulu jadi warga ibu kota. Dulu saya menumpang di rumah om saya, sekarang gantian keponakan saya yang menumpang di rumah saya.

Selamat ulang tahun Jakarta kota tercinta. Memang cinta saya akan bertambah bila ruang terbuka hijaunya makin banyak, bila pencemaran udara makin sedikit, bila warganya tertib antre menunggu kendaraan umum.

Tapi itu semua bukanlah persyaratan karena saya sudah mendeklarasikan cinta saya yang tanpa syarat. Orang bilang ibu kota lebih kejam dari ibu tiri, tapi saya sudah terlanjur cinta, tanpa memandang siapa gubernurnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun