Karena jarak antar rest area relatif jauh, maka antrian di toilet jadi tidak tertib, terlalu banyak yang kebelet yang menahan desakan biologisnya selama lebih dari setengah jam.Â
Bahkan saking banyaknya antrean di toilet wanita, ada ibu-ibu yang nekat masuk toilet laki-laki di tempat yang ada pintu tertutupnya. Toilet pun jadi kotor, karena tidak sempat dibersihkan petugas. Kebetulan saat itu ada beberapa bus berisi rombongan ibu-ibu dari suatu kelompok pengajian di rest area tempat kami berhenti sebentar.
Lagi pula di beberapa titik masih terlihat para pekerja yang tengah sibuk dengan menutup satu lajur sehingga jalan menyempit. Artinya, TTJ memang belum seratus persen siap.Â
Kondisi yang belum siap tersebut juga terlihat dari petunjuk jalan yang masih membingungkan, karena sebagian berasal dari kondisi sebelum TTJ tersambung. Contoh di ruas Semarang-Solo, baru beberapa kilometer sudah ada petunjuk, bagi yang mau ke Surabaya ambil lajur kiri dan yang mau ke Solo silakan di lajur kanan.
Padahal maksudnya itu kalau mau ke Surabaya lewat jalan biasa. Sedangkan yang ingin ke Surabaya lewat tol, justru ambil lajur yang ke Solo karena sudah tersambung dengan Surabaya. Pengendara yang tidak paham, bisa salah membaca petunjuk arah.
Selanjutnya kami masuk ruas tol lama yakni tol lingkar kota Semarang bertarif Rp 5.000, yang berlanjut dengan ruas Semarang-Solo. Inilah yang menurut saya merupakan ruas dengan pemandangan terindah, ada turun naik dan sedikit berliku. Sebelumnya pemandangan sepanjang Palimanan-Semarang relatif monoton khas pantai utara Jawa, kecuali di sekitar KM 380-an, terdapat jembatan yang ikonik.
Kami memilih keluar TTJ di Ngawi agar bisa mencari SPBU. Untuk jarak Semarang-Ngawi kami harus membayar Rp 152.000. Kami sampai di Ngawi pukul 15.18