Sehabis shalat ied, semua penghuni rumah kakek dan juga beberapa tetangga lain diajak ibu makan bersama di rumah kami. Meski kecil (hanya semacam tambahan dari rumah kakek yang lebih besar), rumah kami jadi terasa meriah dan sesak. Ibu saya memang terkenal ramah dan disukai para tetangga. Siangnya sampai malam kami lebih banyak di rumah, menerima tamu. Sebetulnya yang banyak itu tamu di rumah kakek, tapi otomatis setelah ke rumah kakek, si tamu akan ke rumah kami, karena bapak saya anak tertua kakek. Sebelum tamu pamitan, saya bersama kakak-adik sudah tahu tamu mana yang memberi kami uang untuk jajan lebaran. Bapak saya, justru siang hari lebaran malah tidur karena kecapean kerja beres-beres sampai tengah malam. Kalau tamu mau salaman dengam bapak, saya harus membangunkan beliau. Kembali ke soal uang yang kami dapat di hari lebaran, mungkin secara keseluruhan di mata bapak saya "imbang" saja, karena meski kami dapat uang dari tamu, tapi bapak juga ngasih uang ke anak-anak tamu yang datang. Tapi di mata kami anak-anak, ini jelas surplus yang hanya terjadi setahun sekali.
Episode Padang Tarok
Hari kedua, saatnya berlebaran ke Padang Tarok, 16 km dari rumah kami ke arah Bukittinggi, kampung halaman ibu. Ke Padang Tarok pilihannya bisa naik kereta api atau naik bus. Namun seingat saya sejak sekitar tahun 1972 kereta api tenaga batubara yang melayani jalur Payakumbuh - Bukittinggi tersebut sudah tidak beroperasi lagi, seiring maraknya minibus yang oleh masyarakat disebut colt. Karena adat Minang memakai garis ibu atau matrilineal, maka kampung ibu sekaligus jadi kampung kami 7 bersaudara. Karena ibu bersuku (marga) Sikumbang, maka kami semua juga bersuku Sikumbang, meski tidak dilekatkan ke nama kami di KTP atau di ijazah. Di Padang Tarok kami bermalam 1 malam dalam suasana desa yang dingin. Rumahnya khas Minang yang "bagonjong" atau punya atap seperti tanduk kerbau. Kalau mandi dan buang air dilakukan di sungai Batang Agam di dekat rumah bagonjong tadi. Di kampung ada nenek dari pihak ibu, beberapa orang paman, sepupu dan famili lain.Â
Dari jalan raya, rumah nenek tidak jauh tapi harus menyebrangi jembatan Batang Agam lalu jalan menanjak lumayan terjal sejauh kira-kira 100 meter. Di jalanan antara jalan raya dan rumah nenek, kami harus saling bertegur-sapa dengan siapapun yang ketemu. Suasana kekerabatan di kampung memang tinggi. Masalahnya saya sering salah memposisikan orang lain. Hampir semua laki-laki setengah baya saya panggil "pak". Biasanya oleh yang dipanggil karena beliau tahu saya anak siapa langsung mengoreksi seperti ini : pangil saya mamak (paman) bukan bapak. Saya sering malu karena setiap pulang lebaran masih salah panggil terus. Lagi pula meski sama-sama bahasa Minang, ada beda dialek Padang Tarok dengan yang sehari-hari kami pakai di Payakumbuh. Sebagai contoh kata ganti orang ketiga dalam bahasa Indonesia "dia" dalam bahasa Minang standar "inyo", tapi versi Padang Tarok atau berlaku umum di Kabupaten Agam "ano". Sering saya salah tangkap dengan komunikasi lokal ini. Setiap berpapasan saya ditanya "simbaa mudiak?" yang artinya kapan ke mudik (Padang Tarok lebih tinggi atau mendaki dari Payakumbuh, maka disebut ke mudik), saya sering menjawab "jo oto" atau naik bus, karena terpengaruh dalam bahasa Minang umumnya, "baa" adalah "bagaimana" dalam bahasa Indonesia. Tapi intinya orang di desa ramah-ramah, apalagi terhadap tamu. Soal bahasa, Payakumbuh juga punya dialek khas. Tapi kami di rumah berbahasa Minang standar dalam arti yang dipakai di pasar kota, di mana orang dari berbagai asal berinteraksi.
Ada beberapa rumah yang wajib kami kunjungi di Padang Tarok. Hal yang kurang saya sukai, setiap singgah dalam rangka lebaran kami harus makan nasi, padahal sudah kenyang. Tuan rumah akan memaksa makan sebelum kami pamit. Parahnya lagi kalau saya ambil nasi sedikit, tuan rumah menambahkan ke piring saya, nasi yang banyak dan lauknya. Alamaak, mana tahan. Ada satu lagi kue khas Padang Tarok yang mohon maaf saya kurang suka yakni "kalamai" sejenis dodol atau jenang kalau di Jawa. Di Payakumbuh juga ada dan disebut gelamai. Hanya yang versi Padang Tarok entah bagaimana, kalamainya keras sekali, dan untuk membelah pakai pisau lebih sulit dari membelah daging. Setahu saya kue ini sekarang sudah sulit ditemui.
Hebatnya desa kecil bernama Padang Tarok adalah ketika malam-malam hari raya selalu ada pertunjukan sandiwara di sekolah dasar setempat dengan bintang-bintangnya terdiri dari pelajar sekolah memengah dan mahasiswa asal Padang Tarok. Ini menjadi pertunjukan yang tidak boleh dilewatkan. Saya pun ikut diajak sepupu dengan membawa obor, karena jalanan gelap di waktu malam. Yang meriah bukan cuma akting para bintang, tapi adu besar menyumbang dana dalam "lelang kue" yang akan digunakan untuk membangun prasarana di kampung (swadaya masyarakat). Lagi-lagi keahlian MC sebagai provokator terhadap perantau yang pulang sangat berperan. Saat itu perantau Padang Tarok yang sukses adalah pekerja di perusahaan minyak Caltex, Riau di samping para pedagang yang merantau ke berbagai kota besar. Setiap lebaran, perantau sukses biasanya menyempatkan diri pulang kampung. Tapi yang lagi kesulitan ekonomi, memilih mengirim telegram atau surat saja ke kampung. Tradisi mudik di masyarakat Minang tidak sehebat di Jawa. Perantau Minang malu kalau pulang lebaran tidak bisa membagi oleh-oleh atau uang ke sanak saudara, bahkan juga ke teman-teman, termasuk itu tadi, infak/sadakah saat salat tarawih di masjid, shalat ied, dan khusus di Padang Tarok ada lagi saat lelang kue di acara sandiwara.
Episode Bukittinggi
Nah, inilah momen yang paling kami tunggu-tunggu setiap lebaran. Biasanya di hari ke 4 atau ke 5 kami semuanya termasuk beberapa sepupu dari Padang tarok diajak bapak-ibu ke tempat wisata paling populer di Sumbar, Kota Bukittinggi. Tempat yang paling disukai anak-anak seperti akmi adalah Kebun Binatang atau disebut juga Kebun Bunga. Orang yang penuh sesak tidak menyurutkan semangat kami melihat gajah, harimau, singa, dan banyak binatang lain sambil makan-makan dan bermain-main di taman bunganya.
Selain kebun binatang, tempat yang bagus yang kami kunjungi adalah Benteng Fort de Kock, Ngarai Sianok, Jam Gadang, dan diakhiri makan soto di Pasar Atas. Saat itu Soto Haji Karto sangat terkenal. Kadang-kadang juga makan Nasi Kapau. Kota Bukittinggi konturnya naik turun tajam, sehingga dari Pasar Bawah ke Pasar Atas kita naik tangga yang cukup melelahkan bagi anak-anak, tapi kami sangat menikmatinya.
Episode Bukitinggi ini ditutup dengan foto bersama di studio foto. Saat itu belum banyak orang yang membawa kamera, apalagi kamera dari telepon genggam seperti saat ini. Ada satu dua tukang foto keliling, tapi yang paling bagus adalah berfoto di studio. Sebagian foto-foto itu mudah-mudahan masih disimpan kakak saya di Payakumbuh, dan sebagian lagi mungkin sudah gak ketahuan lagi tercecer di mana, mengingat rumah kami masa kecil sudah diambil yang berhak sesuai adat Minang, yakni rumah kakek dari pihak bapak diwariskan ke anak-anak perempuan atau saudara perempuan bapak. Jadi, bapak saya ikut bersama kakak perempuan saya di rumah yang berlokasi 2,5 km dari pusat kota Payakumbuh arah ke Bukittinggi. Ini juga sekaligus tempat kami berkumpul kalau semuanya berlebaran di Payakumbuh.
Demikian sekelumit cerita nostalgia. Tentu masing-masing pembaca punya pengalaman sejenis yang kalau di-share di forum terhormat ini akan lebih bagus.