Hari gini kalau anda ke mal, anda akan mendengar lagu-lagu bertema puasa atau lebaran berkumandang. Salah satu lagu yang mungkin anda dengar adalah lagu "Lebaran Sebentar Lagi" milik Bimbo dan direkam ulang oleh Gigi. Jika saya mendengar lagu itu, ingatan saya melayang ke suasana lebaran di awal tahun 1970-an tahun silam, saat saya kecil di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Meski sebetulnya lagu Bimbo tersebut belum ada waktu saya kecil. Lagu bertema serupa yang sering diputar radio saat itu adalah versi Oslan Hesien yang berjudul "Lebaran". Orang Minang sebetulnya tidak memakai istilah lebaran, namun hanya disebut sebagai "hari rayo" atau hari raya. Dan momen hari raya pastilah momen paling menyenangkan bagi anak-anak terutama di usia SD sampai SMP.
Baju baru, sepatu atau sandal baru, main petasan dan kembang api, dapat uang dari sanak famili, makan enak di rumah sendiri atau di rumah saudara, jajan, dan pergi berwisata adalah hal-hal yang menyenangkan saya saat berhari raya di usia anak-anak. Rasanya semua anak juga begitu. Namun tentu ada pengalaman saya yang barangkali khas atau belum tentu semua anak mengalami. Saya bersama kakak dan adik 7 bersaudara, sejak 10 hari sebelum lebaran sudah ada tugas khusus dari ibu kami. Untuk sementara kami harus menjauhi beberapa permainan yang kami mainkan sebelum menunggu berbuka puasa seperti main congklak, halma dan "bakua". Main bakua adalah permainan yang kami ciptakan sendiri berupa kartu yang ditempel dengan potongan tulisan di bungkus rokok atau bungkus makanan. Satu tempelan ada yang bergambar atau bertulisan yang sama ada di 2 kartu. Setiap anak pegang 5 kartu dan siapa yang duluan ketemu pasangan gambar dari salah satu kartu yang dipegangnya, harus menurunkan 1 kartu lagi. Yang kartunya duluan habis, ia yang menang.
Rumah kami sebuah rumah berukuran relatif kecil dan berlantai papan serta berdinding juga dari papan. Hanya saja di ruang tamu punya beberapa jendela kaca yang berukiran motif bunga. Nah, semua anak kebagian tugas untuk bersih-bersih. Sarang laba-laba yang mungkin ada di langit-langit rumah dibersihkan. Kaca jendela dibersihkan pertama pakai koran bekas, lalu pakai kain lap basah dan terakhir dengan kain lap kering. Langit-langit atau plafon rumah dilapisi dengan kertas batang padi, sejenis kertas yang biasanya berfungsi untuk pembungkus buku tulis anak sekolah. Yang unik adalah cara membersihkan lantai papan. Sewaktu membuat santan untuk rendang sebagai menu utama hidangan lebaran, ibu dan kakak perempuan saya memarut sendiri buah kelapa yang sudah dibelah. Ampas parutan kelapa tersebut kalau di gosokkan ke lantai papan, membuat lantai jadi bersih dan mengkilat. Itulah yang kami lakukan.
Sebagai catatan, saat saya sudah remaja saya yang pada dasarnya agak malas bekerja "fisik" lebih banyak ditugaskan membantu bapak berjualan di kedai sepatu/sandal di Pasar Payakumbuh, 1 km dari rumah. Tugas beginian lebih saya sukai meski di beberapa hari sebelum lebaran kedai dibuka sampai malam. Saya senang karena bisa dilakukan sambil baca koran, atau sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa teman sekolah saya suka singgah dan ngobrol di kedai tersebut.
Episode Kuliner
Yang tak kalah sibuk tentu saja menyiapkan kue lebaran dan juga hidangan lauk pauk. Mulai seminggu terakhir puasa, praktis tiap harinya ibu dan saudara perempuan membuat kue, paling tidak setiap hari selesai satu atau dua jenis. Waktu itu sangat tidak lazim membeli kue jadi seperti saat ini. Setahu saya, keluarga lain yang kaya pun sama-sama sibuk membuat kue. Jadi, memiliki cetakan kue dan oven pembakar kue di atas tungku menjadi penting. Bahan bakarnya adalah kayu dan sabut kelapa. Bahan kue kebanyakan dari mentega dan tepung terigu. Seingat saya belum ada kue nastar atau putri salju yang sekarang seperti wajib ada. Beberapa kue lebaran yang saya ingat tersedia di rumah saya adalah kacang tojin, sagun bakar, kue bawang, kembang loyang, dan aneka kue mantega yang bentuknya tergantung cetakan kue. Ada juga kue yang dibuat di hari H minus 1 karena tahannya tidak begitu lama seperti kue beras rendang yang terbuat dari tepung beras dicampur air gula yang yang kental. Satu lagi, pasangan dari makan kue di saat lebaran, minumannya harus sirop. Sirop adalah kemewahan yang hanya kami nikmati setahun sekali.
Sekarang terkait hidangan lebran. Ingat, saat itu tidak ada kulkas, sehingga proses memasaknya harus pas sehingga tahan lama, termasuk proses pemanasan ulang dan penyimpanannya. Rendang hukumnya "wajib". Di keluarga kami rendangnya berupa rendang daging sapi yang dicampur dengan kacang merah. Proses membuatnya memakan waktu yang lama, bisa belasan jam, sampai betul-betul siap hidang. Tapi karena direncanakan untuk lebaran, sedangkan dimasaknya beberapa hari sebelumnya, maka rendang tersebut disimpan di toples. Dendeng ragi juga rutin dibuat ibu saya setiap lebaran. Ini bukan seperti dendeng balado yang banyak terdapat di rumah makan Padang. Kalau dendeng ragi, daging sapinya diiris kecil-kecil, dan dicampur dengan parutan kelapa yang dimasak lama sampai berwarna coklat dan kering. Karena nenek saya dari pihak bapak berasal dari Koto Gadang yang terkenal dengan "Itiak Lado Hijau" atau bebek cabe ijo, maka ibu saya diajarkan nenek cara memasaknya. Kami pun menjadikan itiak lado ijau sebagai menu wajib di hari raya. O ya, jangan bayangkan kita membeli ayam atau bebek yang sudah dipotong-potong di pasar seperti saat ini. Kita harus membeli bebek hidup, dan dipotong (bahasa Minangnya didabiah) sesuai tuntunan agama Islam oleh kakek saya. Proses memotong bebek dengan pisau khusus sampai si bebek tergelepar dan mati, selalu menarik perhatian saya. Baru kemudian ibu menguliti atau mencabut bulu-bulu bebek tersebut sebelum dimasak. Kakek dan nenek saya dari pihak bapak tinggal di rumah yang bersebelahan dengan rumah kami bersama 2 orang saudara perempuan bapak, sehingga 2 rumah ini bisa juga di anggap satu kesatuan, meski masing-masing independen dalam urusan memasak. Pas di hari lebarannya, hidangan di atas ditambah lagi dengan menu lain yang dimasak pada pagi lebarannya yakni sop daging sapi dicampur kentang, dan sayur pecel dengan kuah kacang dan kerupuk merah. Pecel dan dendeng ragi sangat saya sukai.
Episode 1 Syawal
Ritual kami di 1 Syawal atau hari pertama lebaran tentu saja dimulai dengan pergi shalat idul fitri sekeluarga. Ada 2 lapangan yang sering kami datangi untuk shalat ied, tergantung khatib mana yang dianggap bapak lebih enak ceramahnya. Pertama di Lapangan Poliko di belakang kantor Bupati. Ini lapangan utama di Payakumbuh, namun khatibnya agak hati-hati menyampaikan kritik karena semua pejabat shalat di sana. Kedua, di lapangan Mahad Islami, dekat dari rumah saya, yang merupakan satu kesatuan dengan Pesantren Mahad Islami.
Shalat ied di Payakumbuh atau di tempat lain di Sumbar dimulai lebih lama dibanding yang saya alami di Jakarta. Tidak saja karena ada beda waktu masuk shalat yang rata-rata di Sumbar lebih lambat setengah jam dari Jakarta, tapi terlebih lagi dari upaya keras panitia shalat Ied untuk mengumpulkan dana dari jamaah. Panitia yang pintar sebelum shalat sering berbicara di podium dengan memancing para perantau agar berlomba-lomba membangun sarana ibadah di kampung. "Perantau Jakarta jangan kalah dengan perantau Pakanbaru", itu sebagai contoh ucapan provokatif dalam arti positif dari panitia. Cara ini sebetulnya di masjid-masjid berlangsung setiap malam selama bulan puasa, sebelum shalat tarawih. Jadi, di papan tulis masjid (terutama masjid besar) sudah tertulis penceramah selama sebulan Ramadhan dan jumlah infak/sadakah dari jamaah setiap malamnya. Penceramah favorit ketika itu yang saya ingat adalah Buya Zas (Zainal Abidin Syuib), Buya Zul, Buya Yahya Zakaria, atau ketua Majlis Ulama Sumbar, Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo. Setiap beliau berceramah, jamaah berlimpah, dana yang terkumpul juga berlimpah.
Ada yang kelupaan, sehari sebelum shalat ied, bapak akan mendatangi beberapa rumah tetangga yang kekurangan secara ekonomi. Bapak sebagai kepala keluarga harus membayar zakat fitrah untuk 9 jiwa, yakni bapak, ibu dan 7 anak. Zakat tersebut dibagi ke beberapa tetangga tadi, yang dibayarkan berupa uang senilai ukuran tertentu dari beras sesuai tuntunan agama Islam.