Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebaran Sebentar Lagi (Versi Nostalgia)

7 Juli 2015   11:39 Diperbarui: 7 Juli 2015   11:39 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari gini kalau anda ke mal, anda akan mendengar lagu-lagu bertema puasa atau lebaran berkumandang. Salah satu lagu yang mungkin anda dengar adalah lagu "Lebaran Sebentar Lagi" milik Bimbo dan direkam ulang oleh Gigi. Jika saya mendengar lagu itu, ingatan saya melayang ke suasana lebaran di awal tahun 1970-an tahun silam, saat saya kecil di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Meski sebetulnya lagu Bimbo tersebut belum ada waktu saya kecil. Lagu bertema serupa yang sering diputar radio saat itu adalah versi Oslan Hesien yang berjudul "Lebaran". Orang Minang sebetulnya tidak memakai istilah lebaran, namun hanya disebut sebagai "hari rayo" atau hari raya. Dan momen hari raya pastilah momen paling menyenangkan bagi anak-anak terutama di usia SD sampai SMP.

Baju baru, sepatu atau sandal baru, main petasan dan kembang api, dapat uang dari sanak famili, makan enak di rumah sendiri atau di rumah saudara, jajan, dan pergi berwisata adalah hal-hal yang menyenangkan saya saat berhari raya di usia anak-anak. Rasanya semua anak juga begitu. Namun tentu ada pengalaman saya yang barangkali khas atau belum tentu semua anak mengalami. Saya bersama kakak dan adik 7 bersaudara, sejak 10 hari sebelum lebaran sudah ada tugas khusus dari ibu kami. Untuk sementara kami harus menjauhi beberapa permainan yang kami mainkan sebelum menunggu berbuka puasa seperti main congklak, halma dan "bakua". Main bakua adalah permainan yang kami ciptakan sendiri berupa kartu yang ditempel dengan potongan tulisan di bungkus rokok atau bungkus makanan. Satu tempelan ada yang bergambar atau bertulisan yang sama ada di 2 kartu. Setiap anak pegang 5 kartu dan siapa yang duluan ketemu pasangan gambar  dari salah satu kartu yang dipegangnya, harus menurunkan 1 kartu lagi. Yang kartunya duluan habis, ia yang menang.

Rumah kami sebuah rumah berukuran relatif kecil dan berlantai papan serta berdinding juga dari papan. Hanya saja di ruang tamu punya beberapa jendela kaca yang berukiran motif bunga. Nah, semua anak kebagian tugas untuk bersih-bersih. Sarang laba-laba yang mungkin ada di langit-langit rumah dibersihkan. Kaca jendela dibersihkan pertama pakai koran bekas, lalu pakai kain lap basah dan terakhir dengan kain lap kering. Langit-langit atau plafon rumah dilapisi dengan kertas batang padi, sejenis kertas yang biasanya berfungsi untuk pembungkus buku tulis anak sekolah. Yang unik adalah cara membersihkan lantai papan. Sewaktu membuat santan untuk rendang sebagai menu utama hidangan lebaran, ibu dan kakak perempuan saya memarut sendiri buah kelapa yang sudah dibelah. Ampas parutan kelapa tersebut kalau di gosokkan ke lantai papan, membuat lantai jadi bersih dan mengkilat. Itulah yang kami lakukan.

Sebagai catatan, saat saya sudah remaja saya yang pada dasarnya agak malas bekerja "fisik" lebih banyak ditugaskan membantu bapak berjualan di kedai sepatu/sandal di Pasar Payakumbuh, 1 km dari rumah. Tugas beginian lebih saya sukai meski di beberapa hari sebelum lebaran kedai dibuka sampai malam. Saya senang karena bisa dilakukan sambil baca koran, atau sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang. Beberapa teman sekolah saya suka singgah dan ngobrol di kedai tersebut.

Episode Kuliner

Yang tak kalah sibuk tentu saja menyiapkan kue lebaran dan juga hidangan lauk pauk. Mulai seminggu terakhir puasa, praktis tiap harinya ibu dan saudara perempuan membuat kue, paling tidak setiap hari selesai satu atau dua jenis. Waktu itu sangat tidak lazim membeli kue jadi seperti saat ini. Setahu saya, keluarga lain yang kaya pun sama-sama sibuk membuat kue. Jadi, memiliki cetakan kue dan oven pembakar kue di atas tungku menjadi penting. Bahan bakarnya adalah kayu dan sabut kelapa. Bahan kue kebanyakan dari mentega dan tepung terigu. Seingat saya belum ada kue nastar atau putri salju yang sekarang seperti wajib ada. Beberapa kue lebaran yang saya ingat tersedia di rumah saya adalah kacang tojin, sagun bakar, kue bawang, kembang loyang, dan aneka kue mantega yang bentuknya tergantung cetakan kue. Ada juga kue yang dibuat di hari H minus 1 karena tahannya tidak begitu lama seperti kue beras rendang yang terbuat dari tepung beras dicampur air gula yang yang kental. Satu lagi, pasangan dari makan kue di saat lebaran, minumannya harus sirop. Sirop adalah kemewahan yang hanya kami nikmati setahun sekali.

Sekarang terkait hidangan lebran. Ingat, saat itu tidak ada kulkas, sehingga proses memasaknya harus pas sehingga tahan lama, termasuk proses pemanasan ulang dan penyimpanannya. Rendang hukumnya "wajib". Di keluarga kami rendangnya berupa rendang daging sapi yang dicampur dengan kacang merah. Proses membuatnya memakan waktu yang lama, bisa belasan jam, sampai betul-betul siap hidang. Tapi karena direncanakan untuk lebaran, sedangkan dimasaknya beberapa hari sebelumnya, maka rendang tersebut disimpan di toples. Dendeng ragi juga rutin dibuat ibu saya setiap lebaran. Ini bukan seperti dendeng balado yang banyak terdapat di rumah makan Padang. Kalau dendeng ragi, daging sapinya diiris kecil-kecil, dan dicampur dengan parutan kelapa yang dimasak lama sampai berwarna coklat dan kering. Karena nenek saya dari pihak bapak berasal dari Koto Gadang yang terkenal dengan "Itiak Lado Hijau" atau bebek cabe ijo, maka ibu saya diajarkan nenek cara memasaknya. Kami pun menjadikan itiak lado ijau sebagai menu wajib di hari raya. O ya, jangan bayangkan kita membeli ayam atau bebek yang sudah dipotong-potong di pasar seperti saat ini. Kita harus membeli bebek hidup, dan dipotong (bahasa Minangnya didabiah) sesuai tuntunan agama Islam oleh kakek saya. Proses memotong bebek dengan pisau khusus sampai si bebek tergelepar dan mati, selalu menarik perhatian saya. Baru kemudian ibu menguliti atau mencabut bulu-bulu bebek tersebut sebelum dimasak. Kakek dan nenek saya dari pihak bapak tinggal di rumah yang bersebelahan dengan rumah kami bersama 2 orang saudara perempuan bapak, sehingga 2 rumah ini bisa juga di anggap satu kesatuan, meski masing-masing independen dalam urusan memasak. Pas di hari lebarannya, hidangan di atas ditambah lagi dengan menu lain yang dimasak pada pagi lebarannya yakni sop daging sapi dicampur kentang, dan sayur pecel dengan kuah kacang dan kerupuk merah. Pecel dan dendeng ragi sangat saya sukai.

Episode 1 Syawal

Ritual kami di 1 Syawal atau hari pertama lebaran tentu saja dimulai dengan pergi shalat idul fitri sekeluarga. Ada 2 lapangan yang sering kami datangi untuk shalat ied, tergantung khatib mana yang dianggap bapak lebih enak ceramahnya. Pertama di Lapangan Poliko di belakang kantor Bupati. Ini lapangan utama di Payakumbuh, namun khatibnya agak hati-hati menyampaikan kritik karena semua pejabat shalat di sana. Kedua, di lapangan Mahad Islami, dekat dari rumah saya, yang merupakan satu kesatuan dengan Pesantren Mahad Islami.

Shalat ied di Payakumbuh atau di tempat lain di Sumbar dimulai lebih lama dibanding yang saya alami di Jakarta. Tidak saja karena ada beda waktu masuk shalat yang rata-rata di Sumbar lebih lambat setengah jam dari Jakarta, tapi terlebih lagi dari upaya keras panitia shalat Ied untuk mengumpulkan dana dari jamaah. Panitia yang pintar sebelum shalat sering berbicara di podium dengan memancing para perantau agar berlomba-lomba membangun sarana ibadah di kampung. "Perantau Jakarta jangan kalah dengan perantau Pakanbaru", itu sebagai contoh ucapan provokatif dalam arti positif dari panitia. Cara ini sebetulnya di masjid-masjid berlangsung setiap malam selama bulan puasa, sebelum shalat tarawih. Jadi, di papan tulis masjid (terutama masjid besar) sudah tertulis penceramah selama sebulan Ramadhan dan jumlah infak/sadakah dari jamaah setiap malamnya. Penceramah favorit ketika itu yang saya ingat adalah Buya Zas (Zainal Abidin Syuib), Buya Zul, Buya Yahya Zakaria, atau ketua Majlis Ulama Sumbar, Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo. Setiap beliau berceramah, jamaah berlimpah, dana yang terkumpul juga berlimpah.

Ada yang kelupaan, sehari sebelum shalat ied, bapak akan mendatangi beberapa rumah tetangga yang kekurangan secara ekonomi. Bapak sebagai kepala keluarga harus membayar zakat fitrah untuk 9 jiwa, yakni bapak, ibu dan 7 anak. Zakat tersebut dibagi ke beberapa tetangga tadi, yang dibayarkan berupa uang senilai ukuran tertentu dari beras sesuai tuntunan agama Islam.

Sehabis shalat ied, semua penghuni rumah kakek dan juga beberapa tetangga lain diajak ibu makan bersama di rumah kami. Meski kecil (hanya semacam tambahan dari rumah kakek yang lebih besar), rumah kami jadi terasa meriah dan sesak. Ibu saya memang terkenal ramah dan disukai para tetangga. Siangnya sampai malam kami lebih banyak di rumah, menerima tamu. Sebetulnya yang banyak itu tamu  di rumah kakek, tapi otomatis setelah ke rumah kakek, si tamu akan ke rumah kami, karena bapak saya anak tertua kakek. Sebelum tamu pamitan, saya bersama kakak-adik sudah tahu tamu mana yang memberi kami uang untuk jajan lebaran. Bapak saya, justru siang hari lebaran malah tidur karena kecapean kerja beres-beres sampai tengah malam. Kalau tamu mau salaman dengam bapak, saya harus membangunkan beliau. Kembali ke soal uang yang kami dapat di hari lebaran, mungkin secara keseluruhan di mata bapak saya "imbang" saja, karena meski kami dapat uang dari tamu, tapi bapak juga ngasih uang ke anak-anak tamu yang datang. Tapi di mata kami anak-anak, ini jelas surplus yang hanya terjadi setahun sekali.

Episode Padang Tarok

Hari kedua, saatnya berlebaran ke Padang Tarok, 16 km dari rumah kami ke arah Bukittinggi, kampung halaman ibu. Ke Padang Tarok pilihannya bisa naik kereta api atau naik bus. Namun seingat saya sejak sekitar tahun 1972 kereta api tenaga batubara yang melayani jalur Payakumbuh - Bukittinggi tersebut sudah tidak beroperasi lagi, seiring maraknya minibus yang oleh masyarakat disebut colt. Karena adat Minang memakai garis ibu atau matrilineal, maka kampung ibu sekaligus jadi kampung kami 7 bersaudara. Karena ibu bersuku (marga) Sikumbang, maka kami semua juga bersuku Sikumbang, meski tidak dilekatkan ke nama kami di KTP atau di ijazah. Di Padang Tarok kami bermalam 1 malam dalam suasana desa yang dingin. Rumahnya khas Minang yang "bagonjong" atau punya atap seperti tanduk kerbau. Kalau mandi dan buang air dilakukan di sungai Batang Agam di dekat rumah bagonjong tadi. Di kampung ada nenek dari pihak ibu, beberapa orang paman, sepupu dan famili lain. 

Dari jalan raya, rumah nenek tidak jauh tapi harus menyebrangi jembatan Batang Agam lalu jalan menanjak lumayan terjal sejauh kira-kira 100 meter. Di jalanan antara jalan raya dan rumah nenek, kami harus saling bertegur-sapa dengan siapapun yang ketemu. Suasana kekerabatan di kampung memang tinggi. Masalahnya saya sering salah memposisikan orang lain. Hampir semua laki-laki setengah baya saya panggil "pak". Biasanya oleh yang dipanggil karena beliau tahu saya anak siapa langsung mengoreksi seperti ini : pangil saya mamak (paman) bukan bapak. Saya sering malu karena setiap pulang lebaran masih salah panggil terus. Lagi pula meski sama-sama bahasa Minang, ada beda dialek Padang Tarok dengan yang sehari-hari kami pakai di Payakumbuh. Sebagai contoh kata ganti orang ketiga dalam bahasa Indonesia "dia" dalam bahasa Minang standar "inyo", tapi versi Padang Tarok atau berlaku umum di Kabupaten Agam "ano".  Sering saya salah tangkap dengan komunikasi lokal ini. Setiap berpapasan saya ditanya "simbaa mudiak?" yang artinya kapan ke mudik (Padang Tarok lebih tinggi atau mendaki dari Payakumbuh, maka disebut ke mudik), saya sering menjawab "jo oto" atau naik bus, karena terpengaruh dalam bahasa Minang umumnya, "baa" adalah "bagaimana" dalam bahasa Indonesia. Tapi intinya orang di desa ramah-ramah, apalagi terhadap tamu. Soal bahasa, Payakumbuh juga punya dialek khas. Tapi kami di rumah berbahasa Minang standar dalam arti yang dipakai di pasar kota, di mana orang dari berbagai asal berinteraksi.

Ada beberapa rumah yang wajib kami kunjungi di Padang Tarok. Hal yang kurang saya sukai, setiap singgah dalam rangka lebaran kami harus makan nasi, padahal sudah kenyang. Tuan rumah akan memaksa makan sebelum kami pamit. Parahnya lagi kalau saya ambil nasi sedikit, tuan rumah menambahkan ke piring saya, nasi yang banyak dan lauknya. Alamaak, mana tahan. Ada satu lagi kue khas Padang Tarok yang mohon maaf saya kurang suka yakni "kalamai" sejenis dodol atau jenang kalau di Jawa. Di Payakumbuh juga ada dan disebut gelamai. Hanya yang versi Padang Tarok entah bagaimana, kalamainya keras sekali, dan untuk membelah pakai pisau lebih sulit dari membelah daging. Setahu saya kue ini sekarang sudah sulit ditemui.

Hebatnya desa kecil bernama Padang Tarok adalah ketika malam-malam hari raya selalu ada pertunjukan sandiwara di sekolah dasar setempat dengan bintang-bintangnya terdiri dari pelajar sekolah memengah dan mahasiswa asal Padang Tarok. Ini menjadi pertunjukan yang tidak boleh dilewatkan. Saya pun ikut diajak sepupu dengan membawa obor, karena jalanan gelap di waktu malam. Yang meriah bukan cuma akting para bintang, tapi adu besar menyumbang dana dalam "lelang kue" yang akan digunakan untuk membangun prasarana di kampung (swadaya masyarakat). Lagi-lagi keahlian MC sebagai provokator terhadap perantau yang pulang sangat berperan. Saat itu perantau Padang Tarok yang sukses adalah pekerja di perusahaan minyak Caltex, Riau di samping para pedagang yang merantau ke berbagai kota besar. Setiap lebaran, perantau sukses biasanya menyempatkan diri pulang kampung. Tapi yang lagi kesulitan ekonomi, memilih mengirim telegram atau surat saja ke kampung. Tradisi mudik di masyarakat Minang tidak sehebat di Jawa. Perantau Minang malu kalau pulang lebaran tidak bisa membagi oleh-oleh atau uang ke sanak saudara, bahkan juga ke teman-teman, termasuk itu tadi, infak/sadakah saat salat tarawih di masjid, shalat ied, dan khusus di Padang Tarok ada lagi saat lelang kue di acara sandiwara.

Episode Bukittinggi

Nah, inilah momen yang paling kami tunggu-tunggu setiap lebaran. Biasanya di hari ke 4 atau ke 5 kami semuanya termasuk beberapa sepupu dari Padang tarok diajak bapak-ibu ke tempat wisata paling populer di Sumbar, Kota Bukittinggi. Tempat yang paling disukai anak-anak seperti akmi adalah Kebun Binatang atau disebut juga Kebun Bunga. Orang yang penuh sesak tidak menyurutkan semangat kami melihat gajah, harimau, singa, dan banyak binatang lain sambil makan-makan dan bermain-main di taman bunganya.

Selain kebun binatang, tempat yang bagus yang kami kunjungi adalah Benteng Fort de Kock, Ngarai Sianok, Jam Gadang, dan diakhiri makan soto di Pasar Atas. Saat itu Soto Haji Karto sangat terkenal. Kadang-kadang juga makan Nasi Kapau. Kota Bukittinggi konturnya naik turun tajam, sehingga dari Pasar Bawah ke Pasar Atas kita naik tangga yang cukup melelahkan bagi anak-anak, tapi kami sangat menikmatinya.

Episode Bukitinggi ini ditutup dengan foto bersama di studio foto. Saat itu belum banyak orang yang membawa kamera, apalagi kamera dari telepon genggam seperti saat ini. Ada satu dua tukang foto keliling, tapi yang paling bagus adalah berfoto di studio. Sebagian foto-foto itu mudah-mudahan  masih disimpan kakak saya di Payakumbuh, dan sebagian lagi mungkin sudah gak ketahuan lagi tercecer di mana, mengingat rumah kami masa kecil sudah diambil yang berhak sesuai adat Minang, yakni rumah kakek dari pihak bapak diwariskan ke anak-anak perempuan atau saudara perempuan bapak. Jadi, bapak saya ikut bersama kakak perempuan saya di rumah yang berlokasi 2,5 km dari pusat kota Payakumbuh arah ke Bukittinggi. Ini juga sekaligus tempat kami berkumpul kalau semuanya berlebaran di Payakumbuh.

Demikian sekelumit cerita nostalgia. Tentu masing-masing pembaca punya pengalaman sejenis yang kalau di-share di forum terhormat ini akan lebih bagus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun