Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Agar Badak Jawa dan Sumatera Tak Punah dari Pertiwi Ini

17 Oktober 2016   13:30 Diperbarui: 19 Oktober 2016   00:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain Badak Jawa, saudaranya di seberang pulau, Badak Sumatera (DicerorinusSumatranus) justru bernasib lebih buruk.

Menurut WWF-Indonesia (World Wide Fund for Nature, organisasi non-pemerintah yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan), meskipun jumlah populasi Badak Sumatera relatif lebih besar dari populasi Badak Jawa, tetapi keberadaanya yang tersebar dalam sub-sub populasi yang kecil seperti di Aceh dan di Lampung, maka peluang pertumbuhan populasi Badak Sumatera relatif lebih rendah. Karena itu (menurut WWF), jika tidak dilakukan upaya-upaya proaktif untuk mengkonsolidasikan sub-sub populasi yang kecil tersebut, maka ancaman kepunahan Badak Sumatera sangat mungkin terjadi.

Berdasarkan data terakhir yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  jumlah Badak Jawa di habitat terakhirnya di kawasan TNUK sebanyak 63 individu. Sementara berdasarkan kesimpulan para ahli Badak dalam pertemuan PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) tahun 2015 lalu, Badak Sumatera diperkirakan hanya tersisa kurang dari 100 individu.

Di TNUK yang selama ini menjadi “rumah satu-satunya” bagi mereka, badak bercula satu ini menghadapi masalah keterbatasan luasan habitat untuk mengakomodir pertumbuhan populasinya.

Disana (di Ujung Kulon) pertumbuhan tanaman Langkap (Arenga obsitulia) yaitu flora liar sejenis palem-paleman yang sangat cepat, ekspansif dan membunuh pertumbuhan tanaman lainnya, menjadi ancaman karena mengurangi ketersediaan tanaman pakan Badak Jawa. Selain itu, rendahnya pertumbuhan populasi Badak Jawa juga karena tingkat reproduksi yang rendah, penurunan kualitas genetik (akibat perkawinan sedarah), ancaman penyakit, persaingan ruang pakan dengan satwa lain (seperti Banteng), potensi bencana alam seperti erupsi gunung Krakatau, Gempa Bumi dan Tsunami, dan intervensi negatif manusia berupa perburuan.

Program Koordinator Proyek Ujung Kulon organisasi konservasi nasional WWF-Indonesia, Yuyun Kurniawan, menyebutkan bahwa berdasarkan data WWF-Indonesia, populasi Badak Jawa pada tahun 1970 hanya ada 47 individu, kemudian  naik menjadi 51 individu tahun 1981, 57 individu tahun 2014, dan di tahun ini (2016, red) total berjumlah 63 individu.

Oleh karena statusnya yang sangat terancam punah inilah, maka menurut Yuyun Kurniawan, agenda konservasi bagi Badak Jawa ini semakin hari semakin mendesak untuk dilakukan dengan segera dan seksama.

“Saat ini populasi Badak Jawa berjumlah 63 individu dengan jumlah populasi jantan 36 dan 27 betina, mereka kini bertahan hidup di hutan Ujung Kulon, menghadapi banyak ancaman di habitatnya seperti kompetisi pakan dan ruang. Disana (Ujung Kulon, red) jadi satu-satunya rumah terakhir mereka, dimana mereka harus membagi hutan dengan Banteng dan sejenis palem Langkap yang menyebar cepat dan mendominasi tumbuhan pakannya. Karena populasi mereka tinggal sedikit, tentu perkawinan sedarah bisa selalu terjadi, itu menurunkan kualitas genetika, selain itu ada ancaman penyakit dan bencana alam, sehingga untuk menyelamatkannya, pendekatan konservasi berbasis spesies (misalnya) harus dilakukan”, ujar Yuyun di sela-sela peringatan Hari Badak Sedunia 2016 di area Kantor Seksi Konservasi Wilayah II TNUK di desa Taman Jaya.

Tentang konservasi berbasis spesies, Yuyun menjelaskan sebagai kegiatan konservasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan jenis tertentu yang ada di dalam ekosistem tersebut. Menurutnya, kegiatan ini lebih berfokus pada penyelamatan satwa tertentu yang statusnya sudah kritis atau punah secara lokal.

Ditambahkan Yuyun, untuk menyelamatkan populasi Badak Sumatera yang semakin kritis, perlu adanya pendekatan konservasi berbasis spesies seperti yang dilakukan pada Badak Jawa.

Hal senada dikatakan Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul dalam siaran persnya. Menurut Arnold, upaya konservasi Badak Sumatera di Indonesia harus dilakukan dengan mengedepankan inovasi baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun