Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Agar Badak Jawa dan Sumatera Tak Punah dari Pertiwi Ini

17 Oktober 2016   13:30 Diperbarui: 19 Oktober 2016   00:16 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar Fakta tentang Badak Jawa: Infografis Badak WWF-Indonesia)

BADAK! mendengar nama mamalia besar terlangka di dunia ini atau membaca artikel dan melihat foto-fotonya di media massa, tentu dibenak kita akan membayangkan seperti apa kehidupan hewan unik berkulit tebal dan memiliki satu atau dua cula (tanduk yang tumbuh pada hidung atau moncong) pada bagian tengah dahinya itu.

Ya, keunikan Badak yang disebut-sebut sebagai satwa liar dari zaman purba yang masih bertahan hidup di zaman modern ini menarik minat banyak kalangan untuk terus menyelamatkannya.

Tak terkecuali bagi Indonesia yang tercatat memiliki dua spesies Badak yakni Badak Jawa dan Badak Sumatera, pemerintah dan ratusan organisasi/lembaga/badan/instansi peneliti dan peduli fauna serta ribuan aktivis penyelamat satwa rela urunan untuk menyelamatkan mereka (badak) agar tak punah di tiga habitatnya: Taman Nasional Ujung Kulon, bagi Badak Jawa dan pulau Sumatera serta Kalimantan, untuk Badak Sumatera.

Bahkan karena statusnya yang sangat terancam punah akibat perburuan yang massif, Badak Jawa sudah dalam status dilindungi sejak masa pemerintahan kolonial Belanda (tahun 1931).

Pada 22 September (2016) lalu, mereka (para aktivis penyelamat satwa dan organisasi peneliti dan peduli fauna itu) menggelar peringatan Hari Badak Sedunia 2016 dengan mengadakan “Festival Konservasi Ujung Kulon” di desa Taman Jaya, kecamatan Sumur, kabupaten Pandeglang, Banten.

Ujung Kulon sendiri, kini sebagai satu-satunya kawasan hutan untuk habitat Badak Jawa, sejak 26 Februari 1992 telah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor 284/Kpts-II/1992. Penetapan status Taman Nasional ini seiiring penetapan kawasan hutan tropis ini sebagai “The World Heritage Site” oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO, atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan surat keputusan nomor SC/Eco/5867.2.409 tahun 1992.

Tentu saja, berbagai pelabelan status, baik untuk Ujung Kulon dan bagi Badak Jawa dan Sumatera tersebut, bertujuan agar populasi Badak di Indonesia dapat berkembang biak dengan baik. Meski begitu, kita tidak boleh hanya berhenti pada simbolisasi status saja, sebab kenyataannya, realitas populasi dan habitat Badak Jawa yang kian menurun dan juga Badak Sumatera yang saat ini masih dapat ditemui di Aceh dan Kalimantan Timur, terus terancam.

Perkembangan populasi

Badak Jawa (nama latinnya: Rhinoceros Sondaicus) yang unik karena sebagai satu-satunya badak bercula satu di dunia, oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources atau IUCN (sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam dan didirikan pada 1948), di kategorikan sebagai satwa yang “sangat terancam punah” (critically endangered species).

Kategori ini diumumkan IUCN pasca kematian satu-satunya individu Badak Jawa yang hidup di belantara Vietnam tahun 2011. Ia tewas akibat perburuan gadingnya.

Kini, atas pengumuman IUCN ini, resmilah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, menjadi satu-satunya “benteng kehidupan” atau habitat satu-satunya bagi kehidupan mamalia yang sangat langka ini.

Selain Badak Jawa, saudaranya di seberang pulau, Badak Sumatera (DicerorinusSumatranus) justru bernasib lebih buruk.

Menurut WWF-Indonesia (World Wide Fund for Nature, organisasi non-pemerintah yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan), meskipun jumlah populasi Badak Sumatera relatif lebih besar dari populasi Badak Jawa, tetapi keberadaanya yang tersebar dalam sub-sub populasi yang kecil seperti di Aceh dan di Lampung, maka peluang pertumbuhan populasi Badak Sumatera relatif lebih rendah. Karena itu (menurut WWF), jika tidak dilakukan upaya-upaya proaktif untuk mengkonsolidasikan sub-sub populasi yang kecil tersebut, maka ancaman kepunahan Badak Sumatera sangat mungkin terjadi.

Berdasarkan data terakhir yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  jumlah Badak Jawa di habitat terakhirnya di kawasan TNUK sebanyak 63 individu. Sementara berdasarkan kesimpulan para ahli Badak dalam pertemuan PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) tahun 2015 lalu, Badak Sumatera diperkirakan hanya tersisa kurang dari 100 individu.

Di TNUK yang selama ini menjadi “rumah satu-satunya” bagi mereka, badak bercula satu ini menghadapi masalah keterbatasan luasan habitat untuk mengakomodir pertumbuhan populasinya.

Disana (di Ujung Kulon) pertumbuhan tanaman Langkap (Arenga obsitulia) yaitu flora liar sejenis palem-paleman yang sangat cepat, ekspansif dan membunuh pertumbuhan tanaman lainnya, menjadi ancaman karena mengurangi ketersediaan tanaman pakan Badak Jawa. Selain itu, rendahnya pertumbuhan populasi Badak Jawa juga karena tingkat reproduksi yang rendah, penurunan kualitas genetik (akibat perkawinan sedarah), ancaman penyakit, persaingan ruang pakan dengan satwa lain (seperti Banteng), potensi bencana alam seperti erupsi gunung Krakatau, Gempa Bumi dan Tsunami, dan intervensi negatif manusia berupa perburuan.

Program Koordinator Proyek Ujung Kulon organisasi konservasi nasional WWF-Indonesia, Yuyun Kurniawan, menyebutkan bahwa berdasarkan data WWF-Indonesia, populasi Badak Jawa pada tahun 1970 hanya ada 47 individu, kemudian  naik menjadi 51 individu tahun 1981, 57 individu tahun 2014, dan di tahun ini (2016, red) total berjumlah 63 individu.

Oleh karena statusnya yang sangat terancam punah inilah, maka menurut Yuyun Kurniawan, agenda konservasi bagi Badak Jawa ini semakin hari semakin mendesak untuk dilakukan dengan segera dan seksama.

“Saat ini populasi Badak Jawa berjumlah 63 individu dengan jumlah populasi jantan 36 dan 27 betina, mereka kini bertahan hidup di hutan Ujung Kulon, menghadapi banyak ancaman di habitatnya seperti kompetisi pakan dan ruang. Disana (Ujung Kulon, red) jadi satu-satunya rumah terakhir mereka, dimana mereka harus membagi hutan dengan Banteng dan sejenis palem Langkap yang menyebar cepat dan mendominasi tumbuhan pakannya. Karena populasi mereka tinggal sedikit, tentu perkawinan sedarah bisa selalu terjadi, itu menurunkan kualitas genetika, selain itu ada ancaman penyakit dan bencana alam, sehingga untuk menyelamatkannya, pendekatan konservasi berbasis spesies (misalnya) harus dilakukan”, ujar Yuyun di sela-sela peringatan Hari Badak Sedunia 2016 di area Kantor Seksi Konservasi Wilayah II TNUK di desa Taman Jaya.

Tentang konservasi berbasis spesies, Yuyun menjelaskan sebagai kegiatan konservasi yang dilakukan berdasarkan pertimbangan jenis tertentu yang ada di dalam ekosistem tersebut. Menurutnya, kegiatan ini lebih berfokus pada penyelamatan satwa tertentu yang statusnya sudah kritis atau punah secara lokal.

Ditambahkan Yuyun, untuk menyelamatkan populasi Badak Sumatera yang semakin kritis, perlu adanya pendekatan konservasi berbasis spesies seperti yang dilakukan pada Badak Jawa.

Hal senada dikatakan Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul dalam siaran persnya. Menurut Arnold, upaya konservasi Badak Sumatera di Indonesia harus dilakukan dengan mengedepankan inovasi baru.

Konservasi Badak Sumatera bisa dilakukan dengan mendorong program pembiakan semi alami yang lebih aktif. Mengingat populasinya di alam liar sangat kritis, maka perlindungan habitat saja tak cukup untuk menyelamatkan Badak Sumatera”, ujar Arnold seraya menambahkan bahwa untuk Badak Jawa, manajemen habitat harus segera dilakukan dengan lebih agresif dengan langkah-langkah seperti misalnya pengendalian tanaman Langkap.

Hari Badak Sedunia 2016

Untuk mensosialisasikan dan mengkampanye penyadartahuan konservasi badak dan berbagai permasalahannya, serta mendorong insiatif para pihak untuk terlibat dalam kerja-kerja konservasi Badak, maka sejumlah kalangan pemerhati konservasi Badak seperti WWF-Indonesia, Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Yayasan Badak Indonesia, Yukindo, Himpunan Mahasiswa Lestari Alam (HIMALA) Universitas Mathla’ul Anwar, ALABAMA, AKSI, Pagar Kulon, dan sejumlah lembaga serta aktivis konservasi, turut berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan Hari Badak Sedunia 2016 bersama Balai Taman Nasional Ujung Kulon.

Sejak 16 September hingga 27 September 2016 lalu, mereka mengelar serangkaian acara bertajuk “Festival Konservasi Ujung Kulon 2016 dan Deklarasi Hari Badak Sedunia” dengan kegiatan seperti awarness ke sekolah-sekolah di desa-desa penyangga kawasan TNUK dan desa-desa di lokasi yang berdekatan dengan proyeksi pembangunan populasi kedua (second habit) di desa Cikepu, Sukabumi, Jawa Barat, lomba senam Rhino Aerobic, pemeran produk kreatif  masyarakat desa-desa penyangga TNUK serta upacara perayaan hari badak sedunia.

Dipusatkan di halaman Kantor Seksi Konservasi Wilayah II di Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, kegiatan yang sarat nilai pendidikan dan ajakan konservasi bertemakan “Bersama Kita Bisa, Selamatkan Badak Jawa” ini ditutup dengan peringatan Hari Badak Sedunia, penyerahan piala bagi para pemenang festival, penyerahan piagam, cenderamata dan apresiasi bagi para petugas konservasi sekaligus penandatanganan spanduk deklarasi “Hari Badak Sedunia 2016” oleh Bupati Pandeglang diikuti sejumlah pejabat, tokoh masyarakat dan aktivis konservasi Badak di Ujung Kulon.

Sebagaimana untuk diketahui, bahwa untuk mengigatkan masyarakat dunia tentang keberadaan Badak yang sangat diambang kepunahan, maka pada 22 September 2010, WWF-Afrika Selatan lebih dulu memprakarsai pencanangan “Hari Badak Sedunia/World Rhino Day” untuk yang pertama kalinya disana. Sedangkan di Indonesia sendiri, merespon positif sinyal peringatan hari badak sedunia di Afrika Selatan tersebut, maka sejak 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika itu telah mencanangkan setiap tanggal 22 September sebagai Tahun Badak Internasional di Indonesia yang dinyatakannya pada saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Pada peringatan hari badak sedunia tahun 2016 ini, WWF-Indonesia melalui WWF-Indonesia Ujung Kulon Project bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan pemangku kepentingan yang sama, telah menggelar sejumlah kegiatan konservasi. Selain di Ujung Kulon, WWF-Indonesia juga mengadakan serangkaian kegiatan di Aceh dengan mengadakan Global March for Rhino di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Komitmen bersama

Pemerintah kabupaten Pandeglang, provinsi Banten, melalui Bupati Pandeglang, Irna Narulita, menyambut gembira deklarasi peringatan Hari Badak Sedunia kali ini.

Saat membawakan sambutan pada peringatan hari badak sedunia (22/9) lalu, dia mengajak seluruh masyarakat dan dunia usaha serta pemangku kepentingan yang hadir saat itu untuk turut berkontribusi aktif dan berkomitmen mewujudkan rencana konservasi Badak Jawa dan pelestarian keanekaragaman hayati di taman nasional Ujung Kulon.

Saya pernah berkunjung ke Taman Nasional Way Kambas(di provinsi Lampung, red) yang memiliki penangkaran Badak.Disana dikelola dengan baik dan mudah-mudahan di Pandeglangpun segera terbentuk kepengurusan JARISCA(Javan Rhino Study and Conservation Area)agar program konservasi Badak semakin maksimal, mari kita berkomitmen bersama”, ungkap Bupati yang kini bergelar “Ibu Badak” itu.

Sebagai “Ibu Badak, Irna Narulita berharap, masyarakat Pandeglang masih bisa melihat Badak Jawa dengan mata kepala sendiri di Ujung Kulon. Bahkan menurutnya, keberadaan badak bercula satu yang kini hanya tersisa di kabupaten Pandeglang itu, serta potensi taman nasional Ujung Kulon dengan ekowisata baharinya itu bisa menjadi magnet (mengundang) wisatawan dalam negeri serta mancanegara untuk datang ke kabupaten Pandeglang.

Irna pun tak lupa meminta dukungan seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong peningkatan program konservasi Badak Jawa yang kini hanya tinggal 63 individu.

Saya berharap semua empati, bantuan dari kita semua, mampu menjadi magnet bagi wisatawandalam dan luar negeri untukmengunjungi Pandeglang, Ujung Kulon,atau Pulau Peucang, dan tentu akan meningkatkankesejahteraan bagi masyarakat Pandeglang.Saya juga berharap JARISCAbisa diwujudkan yang tentunya akan menjadi kebanggaankita semua,” tutur mantan anggota DPR RI periode 2014 hingga 2016 ini.

Rumah baru

Karena menghadapi ancaman nyata dimasa depan misalnya penyakit dan bencana alam seperti letusan gunung Krakatau, Gempa Bumi dan Tsunami yang bisa saja terjadi di Ujung Kulon dan menimpa Badak Jawa tersebut, maka menurut Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat perlu pembangunan populasi kedua.

“Populasi kedua badak jawa itu adalah dimana badak jawa saat ini hanya pada satu areal yang sangat terbatas, jika terjadi penyakit atau bencana alam yang mendadak, itu bisa mengakibatkan kepunahan lokal maupun kepunahan global. Badak jawa hanya ada di kita di ujung kulon dan tidak ada lagi, oleh karena itu harus ada kantong-kantong seperti ini di JRSCA (Javan Rhino Study and Conservation Area, red) sebagai salah satu dari second habitat, mungkin nanti juga kita survey di Sukabumi, kita sampaikan alternatif second habitat dan kita berharap pemerintah tinggal ketuk palu untuk menetapkan. Pulau panaitan juga akan kita survei sebagai alternatif kedua habitat badak jawa. Intinya, semakin banyak kantong habitat maka kelestarian akan makin terjaga, harapan dengan banyak kantong itu, jangan terjadi badak jawa di ujung kulon ini tinggal di museum, ya harus kita selamatkan, harimau jawa dulu punah kita tidak melakukan apa-apa, jangan sampai badak jawa punah karena kita tidak melakukan apa-apa”,terang Mamat Rahmat kepada awak media di depan ruang pameran kerajinan masyarakat penyanggah Ujung Kulon usai penandatanganan spanduk “Hari Badak Sedunia 2016”.

Mamat Rahmat menambahkan, karena Ujung Kulon dan Badak Jawa telah menjadi aset dunia maka kita semua wajib melestarikannya. Ia pun menambahkan bahwa ada beberapa agenda pemerintah kedepan yang akan dilakukan untuk penguatan konservasi flora dan fauna, juga terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar.

Menurutnya masyarakat di sekitar Ujung Kulon adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari zonasi taman nasional yang memiliki Badak Jawa, sehingga tidak mungkin masyarakat justru yang dimarjinalkan, sedangkan satwa yang selalu diperhatikan. Justru katanya, kedua-duanya yakni antara alam dengan masyarakat harus diperhatikan secara bersama-sama.

Bersama kita bisa menyelamatkan keanekaragaman hayati khususnya Badak Jawa yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon, Insyaallah masyarakat dan Badak mesra, semua stakeholder, semua pihak baik pusat maupun daerah bersinergi menyelamatkan Badak beserta habitatnya, serta mensejahterakan masyarakat”, demikian Mamat Rahmat.

Nah, mari kita semua mendukung agenda konservasi Badak di Indonesia, supaya kita yang telah diwarisi dengan bumi yang indah ini dan kelak mewariskannya buat generasi mendatang, terus peduli agar Badak Jawa dan Sumatera tidak pernah (akan) punah atau begini: ”jangan sampai kita membiarkan mereka (badak) tinggal menjadi cerita bagi anak cucu kita di buku-buku pelajarannya”. Ya, benar juga kata pengiklan: "tidak ada Badak, memang--tidak bagus!

Penulis: Irwan Lalegit, 17/10/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun