Kedua, opini tadi memposisikan uang sebagai determinan faktor kemenangan. Mereka lupa bahwa jauh di atas uang ada yang disebut trust, yakni tingkat kepercayaan pemilih pada figur calon kepala daerah. Percayalah, uang tidak akan mampu membeli kepercayaan.
Ketiga, opini ini mengasumsikan bahwa trend popularitas dan elektabilitas calon mesti ditopang oleh kekuatan finansial yang kuat. Mereka lupa bahwa yang butuh biaya mahal adalah figur yang muncul dalam arena kontestasi secara instan. Memang butuh anggaran yang tidak sedikit karena program popularitas dan elektabilitas yang dipadatkan.
Yang mesti diluruskan adalah TSY tidak terikat dalam terminologi ini. Ia adalah wakil bupati yang dalam lima tahun terakhir terlibat interaksi dengan seluruh lapisan masyarakat. Interaksi itu perlahan merekatkan hubungan emosional sehingga terbentuk simpul dan basis-basis elektoral. Jadi, meski posisi kekayaan paling minimalis, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi TSY.
Keempat, opini tadi berbanding terbalik dengan trend elektabilitas TSY. Data survei bulan Agustus dari lembaga kredibel yang sempat saya baca, justru memposisikan elektabilitas TSY dalam posisi puncak.
Kelima, opini tersebut seolah memposisikan semua pemilih di Bulukumba akan selesai dan takluk dengan kekuatan uang. Padahal faktanya telah dijelaskan dari poin 1-4 di atas.
Kembali pada pertanyaan awal, lalu Pilkada dirancang untuk siapa? Yang pasti substansi peruntukannya tidak sama dengan koloseum. Pilkada bukan hanya untuk kaum kaya. Pilkada diciptakan sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan itu artinya diperuntukkan buat semua pihak.
Oleh karena itu, sebagai sebuah jejak yang lahir dari rahim tapak pijak peradaban, seharusnya eksistensi pilkada diterjemahkan sebagai representasi dari kemajuan berpikir. Elit politik, aktor politik, cendekiawan, social-society, dan kita semua berkewajiban untuk menorehkan warna kemajuan berpikir pada proses dan tahapan pilkada. Bukan justru semakin mengkerdilkan.
Akhir kata, fenomena kehadiran TSY di Pilkada Bulukumba dengan kekayaan minimalis setidaknya menjadi penanda bahwa masih tersisa optimisme pada pilkada di tengah amuk badai liberalisasi politik. "TSY menjadi ikon kehadiran cinta dan nurani di arena kontestasi pilkada," begitu kesimpulan Sang Orator. Adzan magrib berkumandang, orasi berakhir, dan kami pun berpisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H