Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada untuk Siapa?

2 Oktober 2020   15:41 Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi pembiayaan yang dikeluarkan pasangan calon, tingginya kebutuhan operasional kampanye menjadi salah satu pemicu kepala daerah terpilih rentan terjerat tindak pidana korupsi. Hal ini terjadi karena ada semacam upaya yang dilakukan Sang Bupati/Gubernur terpilih untuk mengembalikan modal kampanye meski melabrak aturan perundang-undangan.

Pembiayaan yang tinggi itu juga dianggap sebagai gerbang pintu masuk bagi para cukong atau pihak penyandang dana untuk terlibat dalam membiayai pasangan calon kepala daerah dengan konpensasi tertentu. Lagi-lagi, ini dianggap rawan memicu terjadinya perilaku koruptif bagi kepala daerah terpilih.

Pada posisi inilah beragam kesimpulan spekulatif muncul bak cendawan di musim hujan. Ada yang masuk akal, tetapi tidak sedikit pula yang terkesan gegabah. Ironisnya, kesimpulan gegabah itu justru datang dari arah barisan yang mengaku sebagai kaum cerdik pandai. Kesimpulan mereka adalah bahwa calon kepala daerah seharusnya berasal dari kaum kaya.

Pertimbangannya, kaum kaya tidak tergantung pada bantuan pembiayaan cukong sehingga meminimalisir terjadinya intervensi ketika terpilih. Ini artinya, salah satu unsur pemicu perilaku koruptif kepala daerah terpilih telah minimalisir. Pertimbangan berikutnya, ketika terpilih kaum kaya tidak akan grasak-grusuk dalam upaya mengembalikan modal kampanye. Toh, mereka adalah orang kaya.

"Ah, benarkah?  Bukankah kaum kaya sangat piawai berhitung soal untung-rugi? Konon, syarat pertama yang harus dimiliki agar bisa jadi orang kaya adalah harus terlatih berhitung soal untung-rugi," sanggah kawan yang tadi, Sang Orator Ulung sambil bersiap-siap ambil alih kendali obrolan. Selanjutnya dapat ditebak, ia kembali berceramah panjang lebar. Tapi kali ini, ia berceramah tanpa kopi. Gelas kopinya tinggal tersisa ampas. Dan, sekali lagi saya bersedekah.

Ngawur, bukan? Analisa mereka membuat kita tergelitik geli. Serasa pengen ngakak tapi takut ada yang tersinggung. Maka, untuk menghindari ketersinggungan yang berpotensi mencederai amanat sila ke-3 Pancasila, cukup ngakak dalam hati saja. Toh, tidak ada yang dengar!

Lalu bagaimana? Tito mengajak semua pihak untuk kembali mengkaji Pilkada dikembalikan ke DPRD. Menurutnya, Pilkada di DPRD lebih efektif dan efisien.

Hakikat Pilkada Langsung

Penyelenggaraan Pilkada secara langsung oleh rakyat yang dimulai sejak tahun 2005 silam adalah sebuah bentuk kritik dan koreksi terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sistem ini dianggap gagal dalam mengemban amanat desentralisasi politik secara menyeluruh. Hal fundamental yang paling banyak menuai kritikan ketika itu adalah anggapan soal pemimpin daerah dengan rakyat yang berjarak. Hal ini terjadi karena ada semacam disparitas antara harapan rakyat terhadap figur pemimpin yang didambakan dengan figur kepala daerah terpilih  hasil pemilihan di DPRD yang diduga sarat dengan sogokan.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Pilkada secara langsung pada tahun 2005 silam dapat dibaca sebagai sebuah momentum penarikan mandat rakyat selaku pemegang kedaulatan dari DPRD sebagai lembaga perwakilan. Rakyat tidak lagi ingin diwakili dalam urusan memilih pemimpin daerah karena DPRD dianggap kurang amanah.

Sistem pemilihan langsung pun bak angin segar bagi semangat desentralisasi politik di daerah dalam mengembalikan harkat, martabat, dan kedaulatan rakyat pada posisi yang semestinya. Pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis dan diyakini dapat mewadahi aspirasi rakyat. Dalam posisi ini, rakyat memiliki bargaining position atau nilai tawar di mata elit dan calon pemimpin daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun