Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada untuk Siapa?

2 Oktober 2020   15:41 Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:53 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sumber: Sindonews.com

Kira-kira sekitar 19 abad yang lalu di Roma-Italia, dibangun sebuah tempat pertunjukan besar berbentuk elips yang disebut Flavian Amphitheatre. Bangunan yang kemudian lazim dikenal dengan nama koloseum  diperuntukkan sebagai gelanggang tarung para gladiator. Pada gelanggang yang didesain terbuka itulah gladiator mementaskan gerak tari kematian diiringi tawa terkekeh kaum bangsawan dan kaum kaya dari tribun VVIP. Ya, pertunjukan maut itu memang diciptakan untuk menghibur kaum bangsawan dan golongan kaum kaya ketika itu.

Jika koloseum dirancang sebagai gelanggang tarung para gladiator untuk menghibur kaum bangsawan dan golongan kaya, lalu pilkada dirancang untuk siapa?

Untuk oligarki? Atau jangan-jangan serupa dengan koloseum, dirancang untuk sekadar menghibur dan mengakomodasi kepentingan elit, bangsawan, dan kaum kaya?

"Seharusnya tidak senaif itu," celutuk seorang kawan dalam sebuah obrolan senja di salah satu warkop. Sambil menyuruput segelas kopi yang keburu dingin, ia berceramah setengah orasi tentang konsep ideal Pilkada. Maklum, kawan ini semasa mahasiswa memang seorang orator ulung. Jadi kubiarkan saja ia berceloteh panjang lebar. Anggap saja sedang bersedekah, memberinya ruang orasi. Saat memaparkan sejumlah argumentasi dengan intonasi meledak-ledak, kubisikkan sesuatu ditelinganya. "Pelankan sedikit suaramu, kawan!"

***

Wacana seputar mahalnya biaya pilkada langsung akhir-akhir ini memang sedang hangat menjadi bahan obrolan. Mulai dari nominal kas APBD yang terkuras untuk membiayai proses dan tahapan pilkada sampai sekeranjang duit yang mesti disiapkan pasangan calon kepala daerah untuk membiayai kampanye. 

Tidak berhenti sampai di situ, wacana pun beranak pinak. Bak Virus Corona yang konon berkembang biak demikian cepat dengan cara membelah diri, wacana menyasar potensi korupsi kepala daerah, keterlibatan cukong, hingga kesimpulan gegabah dari kaum yang mengaku cerdik pandai tentang calon kepala daerah yang katanya ideal ketika berasal dari kaum kaya.

Adalah seorang Tito Karnavian, orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri yang pertama kali melontarkan sorotan terhadap besarnya biaya Pilkada Langsung yang ditanggung oleh Negara, termasuk yang digelontorkan oleh pasangan calon kepala daerah.

Tito mengangkat contoh di Pilkada Garut, untuk tahapan pemutakhiran data pemilih saja sudah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.

"Sebagai contoh kasus di Kabupaten Garut, pada Pilkada 2018 melibatkan 4719 orang petugas pemutakhiran data (PPDP) sama dengan jumlah TPS. Jika satu orang PPDP dibayar Rp 500.000 saja, maka dibutuhkan dana sebesar Rp 2.359.500.000 (dua miliar, tiga ratus lima puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Besar bukan? Belum ditambah atribut PPDP, ATK petugas PPDP, biaya rapat-rapat petugas tingkat desa/kelurahan (di Kabupaten Garut terdapat 442 desa/kelurahan), rapat-rapat petugas tingkat kecamatan atau PPK (di Garut terdapat 42 Kecamatan)," ujar Tito seperti dikutip detik.com.

Dari sisi pembiayaan yang dikeluarkan pasangan calon, tingginya kebutuhan operasional kampanye menjadi salah satu pemicu kepala daerah terpilih rentan terjerat tindak pidana korupsi. Hal ini terjadi karena ada semacam upaya yang dilakukan Sang Bupati/Gubernur terpilih untuk mengembalikan modal kampanye meski melabrak aturan perundang-undangan.

Pembiayaan yang tinggi itu juga dianggap sebagai gerbang pintu masuk bagi para cukong atau pihak penyandang dana untuk terlibat dalam membiayai pasangan calon kepala daerah dengan konpensasi tertentu. Lagi-lagi, ini dianggap rawan memicu terjadinya perilaku koruptif bagi kepala daerah terpilih.

Pada posisi inilah beragam kesimpulan spekulatif muncul bak cendawan di musim hujan. Ada yang masuk akal, tetapi tidak sedikit pula yang terkesan gegabah. Ironisnya, kesimpulan gegabah itu justru datang dari arah barisan yang mengaku sebagai kaum cerdik pandai. Kesimpulan mereka adalah bahwa calon kepala daerah seharusnya berasal dari kaum kaya.

Pertimbangannya, kaum kaya tidak tergantung pada bantuan pembiayaan cukong sehingga meminimalisir terjadinya intervensi ketika terpilih. Ini artinya, salah satu unsur pemicu perilaku koruptif kepala daerah terpilih telah minimalisir. Pertimbangan berikutnya, ketika terpilih kaum kaya tidak akan grasak-grusuk dalam upaya mengembalikan modal kampanye. Toh, mereka adalah orang kaya.

"Ah, benarkah?  Bukankah kaum kaya sangat piawai berhitung soal untung-rugi? Konon, syarat pertama yang harus dimiliki agar bisa jadi orang kaya adalah harus terlatih berhitung soal untung-rugi," sanggah kawan yang tadi, Sang Orator Ulung sambil bersiap-siap ambil alih kendali obrolan. Selanjutnya dapat ditebak, ia kembali berceramah panjang lebar. Tapi kali ini, ia berceramah tanpa kopi. Gelas kopinya tinggal tersisa ampas. Dan, sekali lagi saya bersedekah.

Ngawur, bukan? Analisa mereka membuat kita tergelitik geli. Serasa pengen ngakak tapi takut ada yang tersinggung. Maka, untuk menghindari ketersinggungan yang berpotensi mencederai amanat sila ke-3 Pancasila, cukup ngakak dalam hati saja. Toh, tidak ada yang dengar!

Lalu bagaimana? Tito mengajak semua pihak untuk kembali mengkaji Pilkada dikembalikan ke DPRD. Menurutnya, Pilkada di DPRD lebih efektif dan efisien.

Hakikat Pilkada Langsung

Penyelenggaraan Pilkada secara langsung oleh rakyat yang dimulai sejak tahun 2005 silam adalah sebuah bentuk kritik dan koreksi terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Sistem ini dianggap gagal dalam mengemban amanat desentralisasi politik secara menyeluruh. Hal fundamental yang paling banyak menuai kritikan ketika itu adalah anggapan soal pemimpin daerah dengan rakyat yang berjarak. Hal ini terjadi karena ada semacam disparitas antara harapan rakyat terhadap figur pemimpin yang didambakan dengan figur kepala daerah terpilih  hasil pemilihan di DPRD yang diduga sarat dengan sogokan.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Pilkada secara langsung pada tahun 2005 silam dapat dibaca sebagai sebuah momentum penarikan mandat rakyat selaku pemegang kedaulatan dari DPRD sebagai lembaga perwakilan. Rakyat tidak lagi ingin diwakili dalam urusan memilih pemimpin daerah karena DPRD dianggap kurang amanah.

Sistem pemilihan langsung pun bak angin segar bagi semangat desentralisasi politik di daerah dalam mengembalikan harkat, martabat, dan kedaulatan rakyat pada posisi yang semestinya. Pemilihan secara langsung dianggap lebih demokratis dan diyakini dapat mewadahi aspirasi rakyat. Dalam posisi ini, rakyat memiliki bargaining position atau nilai tawar di mata elit dan calon pemimpin daerah.

Sayangnya, semangat desentralisasi ini agaknya kurang memperoleh dukungan dari partai politik. Ada semacam keengganan partai politik mewakafkan sebagian kewenangannya di tingkat daerah. Padahal, pendelegasian kewenangan itu sangat penting dalam rangka mewujudkan desentralisasi politik dan penguatan demokrasi di tingkat lokal. Itu terlihat dari dinamika dan eksistensi partai politik yang justru semakin sentralistik. Sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan semangat desentralisasi.

Kuat dugaan, wacana soal mahalnya biaya pilkada langsung hingga calon ideal kepala daerah dari kaum kaya yang semakin menguat akhir-akhir ini adalah bagian dari upaya  partai politik dalam mempengaruhi agenda setting untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD.

Sebenarnya tawaran Pilkada kembali ke DPRD akan mudah diterima andai saja partai politik selama ini telah menunjukkan upaya pembenahan. Tetapi nyatanya, kembali pada paragraf sebelumnya, belum ada tanda-tanda perbaikan.

Bertolak dari paparan di atas, maka seharusnya substansi perbincangan ketika menyoal pilkada langsung bukan pada soal mahal atau murahnya pembiayaan pilkada. Sebab diskursus demokrasi memang bukan soal mahal atau murah, tapi soal poisisi kedaulatan rakyat.

Yang mestinya dibincangkan adalah mengapa hingga saat ini partai politik masih sentralistik? Atau kalau masih tetap ngotot membincang soal biaya, pertanyaannya adalah mengapa hingga saat ini belum ada upaya untuk menerapkan sistem e-vooting dalam pemilu agar pembiayaan lebih murah? Mengapa tidak ada upaya penyederhanaan konsep pilkada tanpa mengabaikan kedaulatan rakyat? Mengapa, mengapa, dan mengapa? Silahkan sambung sendiri pertanyaannya.

Pilkada Bulukumba

Terkait dengan pembahasan tulisan ini, menarik mencermati konstalasi politik di Pilkada Bulukumba, Sulawesi Selatan. Setelah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pasangan calon kepala daerah diketahui Tomy Satria Yulianto (TSY) memiliki harta yang paling minimalis, yakni setara dengan Rp 1.307.803.853. Angka ini sangat jauh berada di bawah kekayaan Andi Muchtar Ali Yusuf sebagai kandidat terkaya. 

Dalam laporan LHKPN, pemilik Amaly Group ini tercatat memiliki kekayaan sebesar Rp 278.551.712.765. Sebuah angka yang fantastis. Menyusul  H. Askar HL dengan jumlah kekayaan Rp 65.005.624.144 dan Hamzah Pangki dengan kekayaan sebesar Rp 6.493.140.995.

Opini pun bergulir. Dengan jumlah kekayaan pada posisi paling buntut, TSY diminta bangun dari mimpi panjangnya. Sebab dalam posisi demikian, kecil kemungkinan TSY dapat memenangkan kontestasi. Sebaliknya, opini ini menjagokan Andi Muchtar Ali Yusuf dan H. Askar HL sebagai figur yang berpeluang besar memenangkan pilkada.

Sebagai opini, pandangan ini sah-sah saja. Tetapi bukan berarti bahwa opini tersebut menjadi satu-satunya perspektif sebagai rujukan dalam mengkonstruksi cara pandang. Sebab jika elaborasi lebih dalam, opini inii justru banyak mengandung pengingkaran terhadap logika dan kenyataan.

Pertama, ada banyak contoh pilkada yang menegasikan kepemilikan kekayaan berlimpah sebagai faktor penentu kemenangan. Masih ingat APPY-CICU pada pilkada Makassar? Kurang kaya apa APPY-CICU? Tetapi tetap saja terpaksa menelan pil pahit kekalahan melawan kotak kosong. Atau contoh yang lebih dekat, pada Pilkada Bulukumba 2015 silam, benarkah Sukri-Tomy merupakan kandidat terkaya? Bukan, tapi faktanya mereka dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati.

Kedua, opini tadi memposisikan uang sebagai determinan faktor kemenangan. Mereka lupa bahwa jauh di atas uang ada yang disebut trust, yakni tingkat kepercayaan pemilih pada figur calon kepala daerah. Percayalah, uang tidak akan mampu membeli kepercayaan.

Ketiga, opini ini mengasumsikan bahwa trend popularitas dan elektabilitas calon mesti ditopang oleh kekuatan finansial yang kuat. Mereka lupa bahwa yang butuh biaya mahal adalah figur yang muncul dalam arena kontestasi secara instan. Memang butuh anggaran yang tidak sedikit karena program popularitas dan elektabilitas yang dipadatkan.

Yang mesti diluruskan adalah TSY tidak terikat dalam terminologi ini. Ia adalah wakil bupati yang dalam lima tahun terakhir terlibat interaksi dengan seluruh lapisan masyarakat. Interaksi itu perlahan merekatkan hubungan emosional sehingga terbentuk simpul dan basis-basis elektoral. Jadi, meski posisi kekayaan paling minimalis, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh bagi TSY.

Keempat, opini tadi berbanding terbalik dengan trend elektabilitas TSY. Data survei bulan Agustus dari lembaga kredibel yang sempat saya baca, justru memposisikan elektabilitas TSY dalam posisi puncak.

Kelima, opini tersebut seolah memposisikan semua pemilih di Bulukumba akan selesai dan takluk dengan kekuatan uang. Padahal faktanya telah dijelaskan dari poin 1-4 di atas.

Kembali pada pertanyaan awal, lalu Pilkada dirancang untuk siapa? Yang pasti substansi peruntukannya tidak sama dengan koloseum. Pilkada bukan hanya untuk kaum kaya. Pilkada diciptakan sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan itu artinya diperuntukkan buat semua pihak.

Oleh karena itu, sebagai sebuah jejak yang lahir dari rahim tapak pijak peradaban, seharusnya eksistensi pilkada diterjemahkan sebagai representasi dari kemajuan berpikir. Elit politik, aktor politik, cendekiawan, social-society, dan kita semua berkewajiban untuk menorehkan warna kemajuan berpikir pada proses dan tahapan pilkada. Bukan justru semakin mengkerdilkan.

Akhir kata, fenomena kehadiran TSY di Pilkada Bulukumba dengan kekayaan minimalis setidaknya menjadi penanda bahwa masih tersisa optimisme pada pilkada di tengah amuk badai liberalisasi politik. "TSY menjadi ikon kehadiran cinta dan nurani di arena kontestasi pilkada," begitu kesimpulan Sang Orator. Adzan magrib berkumandang, orasi berakhir, dan kami pun berpisah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun