Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Tafsir Semiotik di Balik Isu Pencopotan TSY

19 Juli 2020   18:24 Diperbarui: 22 Juli 2020   05:42 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi | Ilustrasi milik: Kompas/Handining

Beberapa hari terakhir, timeline media sosial sesak dengan kabar seputar isu pencopotan Tomy Satria Yulianto (TSY) dari posisinya sebagai Ketua DPD Partai Nasdem Bulukumba. Merujuk kabar yang telah beredar luas, kader Nasdem yang saat ini duduk sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulsel, Arum Spink ditunjuk sebagai pelaksana tugas.

Benarkah TSY telah dicopot? "Saya tidak tahu dinda, saya belum diberitahu," jawab TSY dalam sebuah pesan singkat via WhatsApp, saat menanyakan perihal kebenaran issu yang sedang hangat diperbincangkan ini.

MENGAPA TSY DICOPOT?

Beragam analisa spekulatif berseliweran bertolak dari pertanyaan ini. Tidak hanya di jagad maya, di warkop jantung kota hingga balai-balai bambu di kolong gubuk reyot penduduk desa terpelosok, rumor ini menjadi topik diskursus. Bak bola salju, reaksi publik menggelinding liar tak terkendali.

Tidak terlalu sulit bagi kita memahami mengapa daya pikat rumor ini demikian besar menyedot perhatian publik. Alasan paling dekat dan cukup masuk akal adalah karena Kabupaten Bulukumba adalah salah satu di antara 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota---sumber: Wikipedia) yang ikut Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.

Dan, TSY adalah salah figur yang diprediksi memiliki kans besar memenangkan Pilkada Bulukumba. Begitu kata lembaga survei.

Apakah prediksi itu benar? Sabar kawan. Tak lama lagi Desember segera di jelang. Setidaknya, sekitar pukul 04.00 sore pada 9 Desember mendatang sudah ada gambaran siapa pemenang di Pilkada Bulukumba. Sekadar saran, pada hari itu jangan dulu bobo siang agar bisa update informasi data quick count yang dirilis lembaga survei.

TOMY SATRIA YULIANTO/bulukumba.go.id
TOMY SATRIA YULIANTO/bulukumba.go.id

JEJAK TSY

Tapak pijak TSY di Gelanggang Politik terbilang cemerlang. Dalam waktu yang relatif singkat, TSY sukses mengelola positioning dalam merebut ruang dan simpati masyarakat.

Terbukti, ia terpilih sebagai legislator yang kemudian didaulat sebagai salah satu unsur pimpinan DPRD Kabupaten Bulukumba. Pada Pilkada Bulukumba tahun 2015 silam, lagi-lagi ia sukses melenggang sebagai peraih tropy kemenangan mendampingi AM. Sukri Sappewali.

Rangkaian kesusksesan itu lalu menjelma tiket bagi TSY menjadi ikon politik Butta Panrita Lopi. Jejak kiprahnya di gelanggang politik kerap jadi bahan bincang, tidak hanya di lokal Bulukumba, tetapi juga di Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Sebagai tokoh muda, ia bahkan diprediksi bakal menjadi tokoh politik Sulsel masa depan, bahkan nasional. Why Not?

Analisa ini bukan sesuatu yang tak berdasar. Karakter politik yang diperankan TSY memang unik. Ia memiliki differensiasi politik yang menjadi daya pembeda dengan tokoh dan politisi lain. Humanis, hangat, bersahabat, dan di terima oleh seluruh kalangan adalah sebagian kecil dari potensi yang melekat dalam diri TSY.

Lebih dari semua itu, terpendam mimipi tentang ide dan gagasan besar menuju Bulukumba masa depan. Ia membawa warna baru di kancah gelanggang perpolitikan Butta Panrita Lopi.

Saya menduga, petinggi Partai Nasdem di masa lalu pun melihat hal yang sama sehingga merangkul TSY menjadi bagian dari keluarga besar partai bertagline Restorasi Indonesia ini.

Sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPD Nasdem Bulukumba, TSY diserahi amanat menata, mengelola, dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam menghadapi Pemilu Legislatif tahun 2019.

Sekali lagi, kapasitas TSY menjadi headline di sejumlah media mainstream. Pleno KPUD Bulukumba tentang rekapitulasi perhitungan suara pemilu legislatif 2019 menetapkan Partai Nasdem sebagai peraih suara terbanyak dengan jumlah 30.409 suara. Disusul Partai Golkar dengan 25.711 suara, PPP meraih 25.559 suara, Gerindra 25.267 suara, dan PAN 21.952 suara, (fajar.co.id).

Kembali pada pertanyaan di atas. Tapi kok dicopot?

Apakah TSY sudah kehilangan daya pikat?

"TSY dicopot karena dianggap tidak mampu menjalankan roda organisasi," begitu kata Ketua Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPW Nasdem, Tobo Haeruddin, seperti dikutip Trotoar.id.

Mendengar alasan itu, kita seperti tergelitik geli. Rasanya ingin tertawa tapi takut dosa. Jadi kita bilang saja, "Ah ... Masa sih, benarkah?"

TAFSIR SEMIOTIK

SEMIOTIKA-(Yunani: semeion yang berarti tanda) adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu; metafora. Proses mewakili itu terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan hubungannya dengan yang diwakilinya yang disebut semiosis.

Membaca pencopotan TSY sebagai sebuah 'tanda', menuntun kita menemukan beberapa makna tersirat. Karena pertimbangan ruang, tulisan ini hanya memuat 2 poin makna saja.

Pertama, Partai Nasdem tidak menghendaki TSY maju sebagai calon bupati pada Pilkada Bulukumba, 9 Desember mendatang.

Jauh-jauh hari sebelum isu pencopotan ini beredar, telah berhembus kabar (baca: tanda) bahwa Partai Nasdem tidak akan mengusung TSY. Sebaliknya, partai peraih 5 kursi di DPRD Bulukumba ini justru disebut-sebut akan mengusung calon dari kader partai lain. Kader Nasdem sendiri hanya diposisikan sebagai calon wakil bupati.

Rasanya agak terkesan ironis. Terlepas dari apa pertimbangan dan kalkulasi politis elit Nasdem yang sebenarnya, tetapi nalar publik akan menemui jalan buntu dalam merasionalisasi realitas politik ini. Sebuah partai besar, peraih kursi pimpinan DPRD tapi justru meragukan kemampuan kader dan partainya sendiri.

Hal ini bisa berdampak kurang baik bagi citra partai. Sebab bisa jadi, kebuntuan penalaran publik memicu lahirnya kesimpulan seadanya. Kita semua tentu tidak rela jika publik menyimpulkan bahwa strata politik kader Partai Nasdem Bulukumba pada pilkada nanti hanya layak untuk posisi sebagai calon wakil bupati. Tidak untuk calon bupati! Tragis, bukan?

Kedua, pencopotan TSY bisa dimaknai sebagai sebuah kemurkaan partai pada kadernya. Boleh jadi, TSY dianggap telah melakukan pelanggaran aturan organisasi yang sangat fatal.

Jika asumsi ini benar, barangkali sikap politik TSY yang tetap kukuh ingin maju sebagai calon bupati adalah alasannya.

Sejauh ini, TSY memang terjun ke masyarakat bersosialisasi sebagai calon bupati. Berpaket dengan Andi Makkasau, TSY hanya berbekal dukungan dari partai lain, yakni PDIP, PKB dan PBB, dengan mengabaikan lampu hijau dari Nasdem, partai yang dipimpinnya.

Pada sisi ini, ada benarnya. TSY bisa dianggap telah melanggar peraturan organisasi. Sebagai organisasi modern, penting menjaga citra dan wibawa partai. Oleh karena itu, sanksi tegas termasuk pencopotan adalah hal yang wajar.

Sebagai perimbangan cara pandang, kurang fair rasanya jika tidak menelaah persoalan ini dari persfektif lain. Sebutlah misalnya mengapa Partai Nasdem tidak mendukung TSY sebagai calon bupati? Padahal kita tahu bahwa TSY bukan hanya kader biasa, tetapi juga pimpinan tertinggi partai di Bulukumba.

Bukankah salah satu fungsi partai politik adalah menempatkan kadernya pada posisi-posisi strategis pemerintahan agar partai memiliki daya cengkeram kuat dalam mempengaruhi agenda setting dan formulasi kebijakan publik?

Apakah TSY kurang layak? Sepertinya tidak. Buktinya, PDIP, PKB, dan PBB bersedia menerbitkan rekomendasi dukungan. Trend elektabilitas? Apalagi! Data yang dirilis sejumlah lembaga survei menjagokan TSY. Lalu apa? Yang pasti bukan karena poin pertama di atas.

Pada titik tertentu, publik memposisikan seorang ketua atau pimpinan partai sebagai simbol yang merepresentasikan citra dan wibawa partai. Dengan demikian, 'Membunuh' seorang ketua sama artinya dengan membunuh organisasi.

Jika terus terjadi, fenomena seperti ini tanpa disadari bisa semakin menggerus citra dan kepercayaan publik terhadap partai politik secara umum.

Lebih jauh, bisa menjadi semacam kerikil tajam yang merintangi jalan kita sebagai bagian dari social-society dalam upaya mendorong penguatan demokrasi lokal.

Tanpa upaya pembenahan dan perbaikan yang memadai pada sistem dan realitas kehidupan politik kita hari, maka sangat mungkin kita akan sampai pada sebuah masa dimana posisi sebagai ketua partai di tingkat daerah sepi peminat.  Bayangkan, level ketua saja bisa 'tewas' di tangan oligarki. Bagaimana dengan kader biasa?

Hanya sekadar mengingatkan, bahwa politik itu adalah jantung dari seluruh entitas kehidupan sosial dan peradaban.

Di kamar politiklah diramu lahirnya sebuah konsensus, yang kemudian menjelma embrio kebijakan publik. Kebijakan publik unggul yang lahir dari Rahim politik sehat akan menjadi nutrisi bagi tumbuh-kembangnya sebuah peradaban.

Maka, sudah seharusnya keterlibatan akal dan nurani dalam tatanan politik menjadi mutlak. Karena sejatinya, setiap proses politik diarahkan untuk membangun peradaban, bukan justru menghancurkannya.

Oleh karena itu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proses politik sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan peradaban.

Layaknya sebuah tafsir, boleh jadi ini terkesan subjektif. Itu mungkin saja terjadi karena memang alur pikir tulisan ini di konstruksi berdasarkan pengamatan dan analisa dari sudut pandang subjektif penulis.

Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa argumentasi yang dinarasikan pada tulisan ini jauh dari nilai objektif.

Tidak percaya? Silahkan renungkan!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun