Rangkaian kesusksesan itu lalu menjelma tiket bagi TSY menjadi ikon politik Butta Panrita Lopi. Jejak kiprahnya di gelanggang politik kerap jadi bahan bincang, tidak hanya di lokal Bulukumba, tetapi juga di Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Sebagai tokoh muda, ia bahkan diprediksi bakal menjadi tokoh politik Sulsel masa depan, bahkan nasional. Why Not?
Analisa ini bukan sesuatu yang tak berdasar. Karakter politik yang diperankan TSY memang unik. Ia memiliki differensiasi politik yang menjadi daya pembeda dengan tokoh dan politisi lain. Humanis, hangat, bersahabat, dan di terima oleh seluruh kalangan adalah sebagian kecil dari potensi yang melekat dalam diri TSY.
Lebih dari semua itu, terpendam mimipi tentang ide dan gagasan besar menuju Bulukumba masa depan. Ia membawa warna baru di kancah gelanggang perpolitikan Butta Panrita Lopi.
Saya menduga, petinggi Partai Nasdem di masa lalu pun melihat hal yang sama sehingga merangkul TSY menjadi bagian dari keluarga besar partai bertagline Restorasi Indonesia ini.
Sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPD Nasdem Bulukumba, TSY diserahi amanat menata, mengelola, dan mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam menghadapi Pemilu Legislatif tahun 2019.
Sekali lagi, kapasitas TSY menjadi headline di sejumlah media mainstream. Pleno KPUD Bulukumba tentang rekapitulasi perhitungan suara pemilu legislatif 2019 menetapkan Partai Nasdem sebagai peraih suara terbanyak dengan jumlah 30.409 suara. Disusul Partai Golkar dengan 25.711 suara, PPP meraih 25.559 suara, Gerindra 25.267 suara, dan PAN 21.952 suara, (fajar.co.id).
Kembali pada pertanyaan di atas. Tapi kok dicopot?
Apakah TSY sudah kehilangan daya pikat?
"TSY dicopot karena dianggap tidak mampu menjalankan roda organisasi," begitu kata Ketua Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPW Nasdem, Tobo Haeruddin, seperti dikutip Trotoar.id.
Mendengar alasan itu, kita seperti tergelitik geli. Rasanya ingin tertawa tapi takut dosa. Jadi kita bilang saja, "Ah ... Masa sih, benarkah?"
TAFSIR SEMIOTIK