Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

May Day, Antara Ratapan dan Dilema Anak Tiri

1 Mei 2017   02:38 Diperbarui: 1 Mei 2017   03:11 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup itu tidak otoriter. Selalu ada ragam pilihan yang disajikan. Hanya saja setiap pilihan-pilihan itu punya konsekuensi.

Ketika kaum buruh diperlakukan tidak adil, pada saat yang sama ragam pilihan tersaji dihadapan mereka. Semacam fasilitas yang disiapkan sistem kehidupan untuk bereaksi terhadap suatu keadaan.

Berhenti menjadi buruh adalah salah satu contoh pilihan. Sebab hanya nalar kurang sehat yang membuat seseorang dapat bertahan pada lingkungan yang memperlakukannya secara tidak adil.

Lalu, ketika seseorang memilih tetap menjadi buruh lantas dapat disebut nalar mereka kurang sehat? Ternyata tidak. Ada banyak faktor lain yang daya dorongnya melampaui rasa kecewa atas ketidakadilan. Satu diantaranya adalah kebutuhan pemenuhan tuntutan hidup. Mereka harus tetap berkerja agar dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang semakin hari semakin mencekik. Mereka dengan sangat terpaksa mengabaikan rasa sakit dan kecewa atas ketidakadilan karena beras di rumah semakin menipis.

Memilih posisi yang sedikit lebih baik dari sekadar buruh juga kurang memungkinkan. Pasalnya, skill dan kompetensi pas-pasan yang dimiliki tidak memenuhi syarat untuk itu. Di tengah keadaan seperti ini, berhenti menjadi buruh adalah pilihan yang kurang bijak.

Pada posisi inilah seharusnya negara/pemerintah diharapkan hadir, menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sudahlah, anggap saja kita sedang berada di negeri dongeng. Sebuah negeri yang sibuk bukan main mengurusi sengketa kuasa berikut dengan hak angketnya.

Meminjam kalimat Najwa Shihab, bahwa demokrasi kita kadang serupa pasar bebas segala aspirasi yang sesekali menjelma serupa medan ilusi penobatan diri. Demokrasi bising penuh keriuhan jika menyangkut rebutan kekuasaan. Tak peduli nasib rakyatnya yang telah menjelma anak tiri.

Akhirnya, meski hanya serupa ratapan, tidak apa. Bukankah ratapan adalah tanda seseorang masih hidup? Jika kita percaya bahwa kehidupan kerap menyuguhkan kejutan, maka sebuah ratapan sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasi bahwa kita adalah salah seorang yang mungkin berkesempatan menyaksikan kejutan itu. Selamat memperingati Hari Buruh. Semoga orasi peserta aksi menjadi titian datangnya kejutan kehidupan. Kejutan yang dapat menjadi alasan bagi kita untuk tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun