Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

May Day, Antara Ratapan dan Dilema Anak Tiri

1 Mei 2017   02:38 Diperbarui: 1 Mei 2017   03:11 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Fakta ketidakadilan yang lain adalah upah yang diterima pekerja berada di bawah UMR/UMP. Misalnya Pemprov. Sulsel telah menetapkan UMP Rp 2 juta dalam sebulan, atau sekitar Rp70-80 ribu per hari tapi ada beberapa kasus pekerja menerima upah di bawah standar itu.

Kedua, jika aksi unjuk rasa yang digelar pada Hari Buruh diklaim sebagai bentuk perjuangan, maka langit senja pada 1 Mei  tidak seharusnya melimitasi gerakan perjuangan. Bahkan langit malam paling kelam sekalipun pada 31 Desember (7 bulan kemudian) tidak boleh menjadi pembatas berlangsungnya gerakan. Perjuangan sejati akan berakhir hanya dengan satu hal, tujuan telah tercapai.

Ketiga, Hari Buruh yang sudah beberapa kali diperingati semestinya berdampak pada bertambahnya kecerdasan dan keberanian kaum buruh. Cerdas dalam arti paham tentang aturan serta berani berteriak lantang pada perusahaannya ketika merasa diperlakukan tidak adil.

Ratapan Anak Tiri

Kondisi pemerintah/negara yang terkesan alpa atas masalah ketidakadilan yang dihadapi kaum pekerja membuat kita melihat aksi unjuk rasa yang berlangsung setiap tanggal 1 Mei tak lebih dari sekadar ratapan anak tiri. Negara/pemerintah yang seharusnya menjadi ‘Bapak’ bagi para buruh terpotret tidak berdaya. ‘Bapak’ berada dalam tekanan ‘ibu tiri’ yang bernama pemodal, investor, atau pengusaha.

Aturan yang telah ditetapkan oleh ‘Sang Bapak’ dengan mudah dapat disiasati oleh ‘Ibu tiri’. Pelanggaran? Asal tidak kedengaran tetangga semua bisa aman.

Inilah sebagian dampak dari liberalisasi ekonomi dan politik. Liberalisasi dalam bidang apapun menempatkan pemilik modal berada di singgasana agung. Ia bertahta dalam hierarki puncak decision maker.

Sementara kaum pekerja yang sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah hanya serupa anak tiri yang meratapi nasib. Ratapan itu sesekali menggema melalui  pengeras suara. Menggema di antara kelesuan dan keputus-asaan, lalu menyerahkan sirkulasi nasibnya pada rotasi zaman.

Maka, jangan heran ketika menyaksikan orasi berapi-api mengabarkan poin ragam tuntutan dalam peringatan May Day, lalu besoknya menjadi senyap. Tanpa gerakan. Memang seperti itulah ratapan. Sebab kepada siapa tuntutan itu dilayangkan?

Ibarat seorang anak yang lebih memilih pamannya sebagai tempat curhat. Karena ia tahu, Sang Bapak terlanjur takluk pada ibu tiri. Bukankan menyampaikan keinginan pada mereka adalah hal yang sia-sia?

Dilema

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun