Hidup itu tidak otoriter. Selalu ada ragam pilihan yang disajikan. Hanya saja setiap pilihan-pilihan itu punya konsekuensi.
Ketika kaum buruh diperlakukan tidak adil, pada saat yang sama ragam pilihan tersaji dihadapan mereka. Semacam fasilitas yang disiapkan sistem kehidupan untuk bereaksi terhadap suatu keadaan.
Berhenti menjadi buruh adalah salah satu contoh pilihan. Sebab hanya nalar kurang sehat yang membuat seseorang dapat bertahan pada lingkungan yang memperlakukannya secara tidak adil.
Lalu, ketika seseorang memilih tetap menjadi buruh lantas dapat disebut nalar mereka kurang sehat? Ternyata tidak. Ada banyak faktor lain yang daya dorongnya melampaui rasa kecewa atas ketidakadilan. Satu diantaranya adalah kebutuhan pemenuhan tuntutan hidup. Mereka harus tetap berkerja agar dapat membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya yang semakin hari semakin mencekik. Mereka dengan sangat terpaksa mengabaikan rasa sakit dan kecewa atas ketidakadilan karena beras di rumah semakin menipis.
Memilih posisi yang sedikit lebih baik dari sekadar buruh juga kurang memungkinkan. Pasalnya, skill dan kompetensi pas-pasan yang dimiliki tidak memenuhi syarat untuk itu. Di tengah keadaan seperti ini, berhenti menjadi buruh adalah pilihan yang kurang bijak.
Pada posisi inilah seharusnya negara/pemerintah diharapkan hadir, menjadi pelindung bagi rakyatnya. Sudahlah, anggap saja kita sedang berada di negeri dongeng. Sebuah negeri yang sibuk bukan main mengurusi sengketa kuasa berikut dengan hak angketnya.
Meminjam kalimat Najwa Shihab, bahwa demokrasi kita kadang serupa pasar bebas segala aspirasi yang sesekali menjelma serupa medan ilusi penobatan diri. Demokrasi bising penuh keriuhan jika menyangkut rebutan kekuasaan. Tak peduli nasib rakyatnya yang telah menjelma anak tiri.
Akhirnya, meski hanya serupa ratapan, tidak apa. Bukankah ratapan adalah tanda seseorang masih hidup? Jika kita percaya bahwa kehidupan kerap menyuguhkan kejutan, maka sebuah ratapan sudah lebih dari cukup untuk mengkonfirmasi bahwa kita adalah salah seorang yang mungkin berkesempatan menyaksikan kejutan itu. Selamat memperingati Hari Buruh. Semoga orasi peserta aksi menjadi titian datangnya kejutan kehidupan. Kejutan yang dapat menjadi alasan bagi kita untuk tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H