Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Politik

TSY dalam Diskursus Pemuda, Perubahan, dan Lanskap Politik Masa Depan

21 April 2017   00:18 Diperbarui: 21 April 2017   09:00 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Menyandang status sebagai pemuda itu adalah hal yang membanggakan sekaligus mencemaskan.

Membanggakan karena ada begitu banyak literatur yang memuat tentang eksistensi dan peran cemerlang pemuda dari zaman ke zaman. Pemikir-pemikir hebat bahkan menobatkan pemuda sebagai ‘Pemimpin Perubahan’. Sebutlah salah satunya tentang pernyataan Bung Karno yang katanya siap mengguncang dunia hanya dengan bantuan 10 orang pemuda.

Secara denotatif, pernyataan Bung Karno itu mungkin terdengar hiperbolik, alias melebih-lebihkan. Tapi cukup masuk akal disebut sebentuk keyakinan atas potensi yang dimiliki oleh pemuda.

Pemuda sering dipersepsikan sebagai kelompok kritis, progresif, energik, dinamis, terpelajar, dan solutif. Persepsi ini kemudian membentuk poposisi bahwa mereka adalah  kelompok yang selalu siaga di beranda zaman. Kepadanya diserahkan tanggung jawab sebagai jembatan yang menyambungkan potongan zaman. Karenanya, ia harus selalu siap menjawab tantangan yang disajikan zaman.  

Pemuda mana yang tidak bangga atas pengakuan sejarah ini? Saya misalnya, meskipun usiaku telah beringsut diam-diam melewati ambang batas definisi pemuda, tetapi tetap saja menganggap sebagai bagian dari pemuda yang merasa punya hak atas rasa bangga itu.

Sebenarnya saya kurang setuju dengan pembatasan definisi pemuda hanya dari sudut pandang usia. Sebab secara substansi pemuda menurutku adalah mereka yang memiliki ciri-ciri seperti disebutkan di atas. Muda secara usia tetapi terkulai lemas di pojok peradaban tentu bukanlah sosok pemuda yang dimaksudkan oleh Bung Karno. Mengutip penggalan kalimat Ketua KNPI Sulsel, Imran Eka Saputra dalam sebuah pidatonya bahwa pemuda harus memiliki nilai daya saing.

Bagi pemuda yang memuliakan nalarnya akan segera tahu bahwa rasa bangga bukanlah satu-satunya nilai yang diwariskan oleh sejarah. Hal lain yang turut merangsek masuk dalam wacana kepemudaan adalah kecemasan. Cemas adalah reaksi psikologis atas ragam tanya terkait kesanggupan kita sebagai pemuda dalam menjaga warisan nama baik sejarah pemuda.

Sanggup atau tidak, jawaban secara lugas mungkin tak segera ditemukan. Tetapi dengan mencermati bagaimana pemuda mengeksplorasi gagasan dan perannya brangkali bisa memberikan gambaran atas kemungkinan jawaban yang akan tercipta.

Kata kunci dari sebuah peran adalah totalitas. Layaknya piala oscar, penghargaan ini akan diberikan kepada aktor/aktris, bukan karena derajat sosial tokoh yang diperankannya. Tetapi pada totalitas peran yang ia lakukan. Maka, derajat totalitas peran akan berkorelasi dengan sanggup tidaknya pemuda menjaga warisan.

Pemuda Itu Bernama TSY

Namanya Tomy Satria Yulianto. Lahir di Bulukumba pada 14 Juli 1974. Ia telah memilih jalan politik sebagai ruang untuk mengeksplorasi gagasan dan peran kepemudaannya. Dari ruang itu ia menjalankan perannya sebagai penjaga warisan.

Memilih politik sebagai jalan pengabdian sebenarnya cukup beresiko. Arus perubahan seperti bola yang terus menggelinding liar. Ketidakpastian melingkupi dinamika sosial. Beriringan dengan itu, liberalisasi politik berkecambah di tengah kegamangan literasi politik masyarakat. Lalu, panggung Republik menjadi sasaran empuk bagi para pembajak demokrasi. Kemapanan sumber daya yang mereka miliki kemudian mengendalikan arah dan iklim politik sekehendak hati. Apa lagi kalau bukan untuk memenuhi ambisi kelompok mereka.

Sebagai pilar demokrasi—begitu kata undang-undang—partai politik juga dalam keadaan sekarat. Alih-alih menjadi penopang demokrasi, parpol justru kerap menjadi kuda tunggangan para pembajak. Fungsi parpol sebagai mediator antara rakyat dan pemerintah ibarat jauh panggang dari api.

Maka, memilih jalan politik tanpa kehati-hatian serta perhitungan akurat sama halnya dengan bunuh diri. Apapun resikonya, TSY terlanjur memilih jalan ini. Ia harus siap menerimanya. “Hidup yang tak dipertaruhkan, tak layak diperjuangkan,” kurang lebih demikian kata TSY padaku di suatu kesempatan bincang santai dengannya.

Karir Politik

Memilih jalan politik berarti bersedia untuk mati berkali-kali. Agar tidak mati, dibutuhkan kompetensi untuk memahami gestur medan politik di setiap jengkalnya. Bagaimana dengan TSY?

Meskipun karir politiknya terbilang baru, tetapi 10 tahun berkecimpung di dunia NGO cukup memberinya bekal pengetahuan untuk mengenali gejala perubahan, termasuk medan politik. Bekal itulah yang membuatnya percaya diri memasuki gerbang politik. Beratribut Partai Demokrat, pada Pemilu Legislatif Tahun 2014  ia sukses lolos sebagai Caleg terpilih dari Daerah Pemilihan II—Bulukumpa - Rilau Ale. Tak berselang lama ia dilantik sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bulukumba.

Kurang lebih setahun sebagai legislator, ia kemudian maju dalam kontestasi Pilkada Bulukumba tahun 2015. Berpasangan dengan AM. Sukri Sappewali, TSY sukses memenangkan kontestasi. Sekali lagi ia membuktikan akurasi pemetaan politiknya.

Sebenarnya tidak terlalu mengherankan melihat kemampuan TSY yang tampak lincah bergerak zig-zag di tengah medan politik licin, berbatu, dan kadang-kadang sedikit terjal. Ternyata, sejak  pertengahan tahun 2002 ia sudah menjadi Koordinator Riset Lembaga Survei Indonesia wilayah Sulawesi Tengah. Saya menduga, TSY banyak belajar dari lembaga ini.  

Dalam memainkan peran politik, TSY memang tampak berbeda dengan politisi lainnya. Ia terlihat lebih mengedepankan—seperti apa yang disebutkan oleh Gregg Thompson sebagai soft power dari pada hard power. Menurut Thompson, soft power adalah kekuatan untuk memikat hati orang tanpa memanipulasi mereka dengan rangsangan yang bersifat material. Yang termasuk dalam jenis ini adalah seperti kepribadian menarik, budaya, nilai-nilai, serta kekuasaan moral (moral authority).

Dari sini, TSY menciptakan branding politik dengan cara membangun sinergi besar antara aktivasi nilai-nilai (merek) politik, media massa, aktivitas lapangan, serta perilaku target audiens.

Jika Anda memperhatikan secara cermat gaya sosialisasi TSY pada saat Pilkada 2015 lalu, saya yakin Anda akan segera mengerti apa yang dimaksud dengan soft power. Perhatikan kelompok muda dan komunitas-komunitas populer di Bulukumba, ada berapa banyak dari mereka yang memilih ikut bergabung dalam  barisan relawan ST15?

Apa yang dilakukan TSY, oleh Silih Agung Wasesa—penulis buku  Political Branding & Public Relations—disebut sebagai Konsep Buzzing. Yaitu cara menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan positif di tengah masyarakat sekaligus cara menggerakkan target audiens dengan membangun kesadaran mereka sendiri.

Ditilik dari wawasan dan karakter asli TSY,  memang tak terlalu sulit baginya untuk menggunakan soft power. Beberapa kawan seperjuangan TSY di NGO menjelaskan bahwa pembawaan Tomy memang hangat. Ia mudah bergaul dengan orang lain, bahkan pada orang yang baru bertemu.

Lanskap Politik Masa Depan

Seiring dengan bola perubahan yang terus menggelinding, banyak yang memprediksi bahwa keadaan politik di masa depan akan semakin dinamis. Preferensi politik akan banyak dikendalikan oleh kelompok muda terpelajar melalui produksi isu politik strategis. Kelompok muda terpelajar adalah jatah dunia politik atas bonus demografi yang banyak dibicarakan itu.

Paradigma politik konvensional yang mengandalkan hard power (ransangan materi) perlahan akan kehilangan nafas zaman. Di masa depan, medan politik akan menjadi bagian dari pergulatan ide dan gagasan.  Tak disangsikan, kompetensi menjadi syarat mutlak yang dibutuhkan—bahkan hanya untuk sekadar berjalan di garis paling pinggir pada arena kontestasi.

Dari jejak yang ia tinggalkan, saya berkesimpulan bahwa TSY adalah salah satu pemuda yang siap ambil peran dalam kontestasi politik masa datang. Karakter, wawasan, kematangan emosi, serta pengetahuan tentang marketing politik yang dimiliki TSY memaksa saya untuk harus percaya bahwa ia siap untuk itu.

Jika prediksi ini benar, maka lanskap politik masa depan akan diwarnai dengan kehadiran politisi-politisi muda yang tidak hanya terpelajar, tapi juga matang sebagai pemuda. Mereka adalah para pejuang penjaga warisan. Mereka adalah sekelompok pemuda yang berjuang keras buku-buku sejarah masih menyisakan bab tersendiri untuk kisah para pemuda hebat.

***

Janci Mutaroe

Tak salah, rupanya kesimpulanku ini diamini oleh orang lain. Buktinya? TSY sejak tahun lalu telah menjadi sasaran target pembusukan. Mulai dari isu kampung ramadhan, mutasi, pengendali proyek, hingga PPKL Islamic Center.

Dalam dunia politik hanya yang terpotret kuat yang menjadi sasaran serangan opini. Ini berarti bahwa ketika Anda menjadi sasaran pembusukan karakter, tidak perlu bersedih. Itu menandakan Anda terlihat kuat.

Berkaitan dengan serangan opini, berikut analisa sederhana tentang aksi sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai PPKL Islamic Center.

Sebuah gambar spanduk bertuliskan “Tomy Satria Yulianto—Janci Mutaroe” hinggap di layar ponselku. Pada spanduk itu ada gambar TSY. Layoutnya cukup estetis menurutku. Menurut kabar, spanduk itu adalah alat peraga yang digunakan oleh PPKL Islamic Center dalam unjuk rasa di DPRD Bulukumba.

Unjuk rasa atau apapun namanya menurutku biasa saja. Sejauh tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, saya rasa siapapun dia berhak untuk menyatakan pendapat melalui unjuk rasa.

Hanya yang sedikit terasa getir ketika realitas yang tersaji menguatkan dugaan bahwa tanpa sadar saudara-saudara kita (para pedagang) telah ditunggangi oleh oknum dengan kepentingan dan tujuan lain.

Sayang sekali, skenario politik yang membonceng pada aksi ini terlihat begitu telanjang, dan sedikit amatir. Alih-alih menyampaikan pesan kepada publik, skenario ini cenderung lebih terlihat seperti parodi yang membuat kita tertawa ngakak.

Dari sudut pandang komunikasi, konsistensi logika adalah hal yang wajib diperhatikan. Mengabaikan berarti fatal, karena pesan yang ingin disampaikan tidak berhasil mencapai pihak penerima pesan. Mematuhi hukum logika adalah syarat dasar pesan—entah bersifat agitasi atau propaganda— yang baik. Jika tidak, maka pesan itu tak lebih dari sekadar polusi audio/visual yang tak bermakna.

Kembali ke spanduk, saya melihat ada semacam kesenjangan yang begitu lebar antara fakta (keadaan PPKL) sebagai pengirim pesan, konten pesan (janji dan TSY), dan penerima pesan (Masyarakat)

Pertama, melihat desain layout, konten, dan bahan dasar spanduk itu membuat kita bertanya-tanya, untuk apa para pedagang itu mengeluarkan duit jika tujuannya murni hanya untuk menyampaikan aspirasi? Ini mendorong kita untuk curiga, ada sutradara politik di balik ini. Dugaan saya, dikemas seperti itu agar foto TSY tampak nyata terpampang dalam spanduk.

Kedua, konten pesan tentang janji. Juga kurang jelas. Kemudian aspirasi yang bernada protes itu tertuju kepada TSY dalam kapasitasnya sebagai pemerintah daerah. Yang menggelitik adalah karena pemerintah daerah di tingkat kabupaten menurut undang-undang adalah seorang bupati yang dibantu oleh seorang wakil bupati. Mestinya, ada dua gambar (Bupati dan Wakil Bupati) agar sedikit tampak sungguhan.

Ketiga, penerima pesan. Dalam konteks ini sebenarnya ada dua pihak penerima pesan, yakni DPRD sebagai penerima aspirasi (pesan langsung) dan masyarakat (pesan tidak langsung).

Dari kacamata skenario komunikasi politik, masyarakat diposisikan sebagai penerima pesan utama. Mungkin pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa TSY adalah seorang pembohong besar. Ia tak layak memperoleh mandat rakyat. Singkatnya, sebagai pemimpin daerah TSY mengecewakan.

Jika benar maksud pesannya seperti yang saya tafsirkan, ini jauh lebih menggelikan. Sebab tanpa disadari mereka telah memposisikan masyarakat Bulukumba sebagai sekumpulan orang yang tidak mengerti apa-apa. Menurutku ini gegabah.

Atas keadaan ini, kemungkinan reaksi masyarakat hanya ada dua, tersinggung atau tertawa terbahak-bahak. Tersinggung karena dianggap orang bodoh. Terbahak karena masyarakat merasa jauh lebih cerdas dari sutradara yang bermaksud menyesatkan itu.

Terlepas dari baik buruknya skenario spanduk tersebut, informasi yang dapat dipetik adalah: pertama, bahwa TSY memang sudah diteropong sebagai orang kuat. Ia adalah sosok politisi masa depan yang tak dapat dipandang remeh. Bukan tidak mungkin ia menjelma sebagai pemimpin mashab politik baru tidak hanya di Bulukumba, tapi juga di Sulsel. Kemampuan adaptif terhadap perubahan memungkinkan gaya politiknya menjadi preferensi politik di masa depan. Makanya, ia menjadi sasaran untuk dikeroposkan.

Kedua; memposisikan TSY sebagai satu-satunya pihak yang dianggap bertanggung jawab atas nasib para pedagang dapat dimaknai sebagai taktik untuk memancing TSY menyalahkan Bupati AM. Sukri Sappewali. Dengan begitu, hubungan TSY dengan AMS bisa retak.

Ketiga; juga dapat bermakna sebagai upaya pembusukan jelang Musda Demokrat Bulukumba. Sekadar catatan, TSY adalah kader Demokrat Bulukumba yang paling bersyarat menjadi Ketua.

***

Ketika Pemuda TSY memilih politik sebagai jalan perjuangan, itu tidak berarti bahwa kita pun harus menempuh jalan yang sama. Masih ada begitu banyak jalan pengabdian yang lain. Pengusaha, akademisi, birokrat, juga cukup menarik jadi pilihan. Apapun jalan yang ditempuh, penting dicatat bahwa kata kunci dari semua bentuk peran adalah totalitas. Peran apapun yang dipilih, lakukanlah secara total.

Pada bagian akhir tulisan ini, sebuah pesan saya sertakan. Bukan untuk siapa-siapa, untuk saya sendiri. Bahwa ketika TSY bersama pemuda hebat lainnya sedang berjuang menciptakan nilai pemuda agar layak tertulis dalam buku sejarah, jangan sampai kita berlaku sebaliknya. Mungkin kita tetap tertulis, tapi pada halaman yang paling kusam. Tertulis seperti nama Hitler atau Mussolini. Reaksi setiap kali mengeja namanya selalu sama, caci maki.  

*Ditulis oleh Irwan Ali--Seorang masyarakat Bulukumba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun