Memilih politik sebagai jalan pengabdian sebenarnya cukup beresiko. Arus perubahan seperti bola yang terus menggelinding liar. Ketidakpastian melingkupi dinamika sosial. Beriringan dengan itu, liberalisasi politik berkecambah di tengah kegamangan literasi politik masyarakat. Lalu, panggung Republik menjadi sasaran empuk bagi para pembajak demokrasi. Kemapanan sumber daya yang mereka miliki kemudian mengendalikan arah dan iklim politik sekehendak hati. Apa lagi kalau bukan untuk memenuhi ambisi kelompok mereka.
Sebagai pilar demokrasi—begitu kata undang-undang—partai politik juga dalam keadaan sekarat. Alih-alih menjadi penopang demokrasi, parpol justru kerap menjadi kuda tunggangan para pembajak. Fungsi parpol sebagai mediator antara rakyat dan pemerintah ibarat jauh panggang dari api.
Maka, memilih jalan politik tanpa kehati-hatian serta perhitungan akurat sama halnya dengan bunuh diri. Apapun resikonya, TSY terlanjur memilih jalan ini. Ia harus siap menerimanya. “Hidup yang tak dipertaruhkan, tak layak diperjuangkan,” kurang lebih demikian kata TSY padaku di suatu kesempatan bincang santai dengannya.
Karir Politik
Memilih jalan politik berarti bersedia untuk mati berkali-kali. Agar tidak mati, dibutuhkan kompetensi untuk memahami gestur medan politik di setiap jengkalnya. Bagaimana dengan TSY?
Meskipun karir politiknya terbilang baru, tetapi 10 tahun berkecimpung di dunia NGO cukup memberinya bekal pengetahuan untuk mengenali gejala perubahan, termasuk medan politik. Bekal itulah yang membuatnya percaya diri memasuki gerbang politik. Beratribut Partai Demokrat, pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 ia sukses lolos sebagai Caleg terpilih dari Daerah Pemilihan II—Bulukumpa - Rilau Ale. Tak berselang lama ia dilantik sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bulukumba.
Kurang lebih setahun sebagai legislator, ia kemudian maju dalam kontestasi Pilkada Bulukumba tahun 2015. Berpasangan dengan AM. Sukri Sappewali, TSY sukses memenangkan kontestasi. Sekali lagi ia membuktikan akurasi pemetaan politiknya.
Sebenarnya tidak terlalu mengherankan melihat kemampuan TSY yang tampak lincah bergerak zig-zag di tengah medan politik licin, berbatu, dan kadang-kadang sedikit terjal. Ternyata, sejak pertengahan tahun 2002 ia sudah menjadi Koordinator Riset Lembaga Survei Indonesia wilayah Sulawesi Tengah. Saya menduga, TSY banyak belajar dari lembaga ini.
Dalam memainkan peran politik, TSY memang tampak berbeda dengan politisi lainnya. Ia terlihat lebih mengedepankan—seperti apa yang disebutkan oleh Gregg Thompson sebagai soft power dari pada hard power. Menurut Thompson, soft power adalah kekuatan untuk memikat hati orang tanpa memanipulasi mereka dengan rangsangan yang bersifat material. Yang termasuk dalam jenis ini adalah seperti kepribadian menarik, budaya, nilai-nilai, serta kekuasaan moral (moral authority).
Dari sini, TSY menciptakan branding politik dengan cara membangun sinergi besar antara aktivasi nilai-nilai (merek) politik, media massa, aktivitas lapangan, serta perilaku target audiens.
Jika Anda memperhatikan secara cermat gaya sosialisasi TSY pada saat Pilkada 2015 lalu, saya yakin Anda akan segera mengerti apa yang dimaksud dengan soft power. Perhatikan kelompok muda dan komunitas-komunitas populer di Bulukumba, ada berapa banyak dari mereka yang memilih ikut bergabung dalam barisan relawan ST15?