Pada setiap momentum Pemilu, panorama politik di Indonesia selalu dipenuhi dengan baliho-baliho raksasa, menyemarakkan jalanan dan menutupi hampir setiap sudut kota.
Tetapi, di balik gemerlapnya baliho-baliho tersebut, tersembunyi sebuah realitas yang menyedihkan, Â "kurangnya pemahaman akan esensi demokrasi dan peran seorang calon legislatif (caleg) sebagai wakil rakyat".
Sejak dimulai masa kampanye, kita sering disuguhi pemandangan baliho-baliho besar yang terpasang di pinggir jalan, dinding bangunan, dan bahkan di pepohonan.
Fenomena ini bukan hanya merugikan secara visual, tetapi juga menggambarkan seberapa jauh kita telah tersesat dalam menyikapi esensi demokrasi.
Pemilu seharusnya menjadi panggung bagi warga negara untuk memilih wakil mereka berdasarkan kualitas, integritas, dan dedikasi yang telah terbukti dalam masyarakat.
Namun, sayangnya, semangat tersebut sering kali terkubur di tengah hiruk pikuk kampanye yang lebih mengedepankan popularitas dan kekayaan finansial.
Saat ini, caleg-celeng lebih cenderung mengandalkan keberadaan baliho-baliho megah sebagai alat untuk memenangkan hati pemilih, daripada membangun basis dukungan melalui pengabdian dan kehadiran nyata di tengah masyarakat.
Mereka lupa bahwa menjadi seorang caleg bukan hanya soal seberapa besar baliho yang mereka pajang, tetapi juga tentang bagaimana mereka membangun koneksi dan menjalin hubungan yang kuat dengan konstituen mereka.
Pierre Bourdieu, seorang teoretikus sosial terkemuka, pernah mengemukakan bahwa untuk mencapai kuasa simbolik dalam suatu struktur sosial, seseorang harus mengakumulasi modal sosial, kultural, dan ekonomi.
Artinya, dalam konteks politik, seorang caleg harus aktif terlibat dalam kehidupan masyarakat, menunjukkan pengabdian, dan mengartikulasikan visi serta misi mereka sebagai wakil rakyat.
Jadi, seharusnya masa kampanye bukanlah saat untuk mulai membangun reputasi politik, melainkan merupakan refleksi dari upaya-upaya yang telah dilakukan selama bertahun-tahun sebelumnya untuk menjadi bagian yang integral dari masyarakat.
Maka, menjadi caleg sejati bukanlah tentang seberapa sering wajah mereka terpampang di berbagai media atau baliho, tetapi tentang bagaimana mereka telah membangun kepercayaan dan dukungan di antara warga.
Lebih dari sekadar baliho, seorang caleg harus memahami bahwa pemilu bukanlah sekadar ajang untuk mendapatkan kursi di parlemen, tetapi lebih dari itu, merupakan kesempatan untuk mewakili suara-suara rakyat dan mengemban amanah sebagai pembawa aspirasi masyarakat.
Namun, ironisnya, peristiwa yang terjadi saat ini menunjukkan betapa jauh kita tersesat dari esensi demokrasi sejati.
Pemilu telah menjadi panggung bagi para caleg karbitan yang lebih memilih jalur instan untuk meraih popularitas dan keuntungan pribadi, daripada membangun fondasi politik yang kuat dan berkelanjutan.
Partai politik sebagai garda terdepan dalam proses politik juga tidak luput dari kritik. Mereka seharusnya bertanggung jawab atas penjaringan dan pelatihan para kader mereka, agar mampu menjadi pemimpin yang terpercaya dan berintegritas tinggi.
Akan tetapi, kenyataannya, banyak partai politik yang lebih memilih untuk mengandalkan caleg-celegan yang memiliki dana besar dan popularitas yang tinggi, tanpa memperhatikan komitmen dan dedikasi mereka sebagai pemimpin yang sejati.
Kita harus menyadari bahwa demokrasi Indonesia tidak akan berkembang jika kita terus membiarkan fenomena ini berlanjut.
Pemilu harus menjadi momen introspeksi bagi kita semua, di mana kita merenungkan kembali esensi dari sistem politik kita dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu.
Pertama-tama, kita harus mulai memperbaiki paradigma politik kita, dari orientasi pada popularitas dan kekayaan, menjadi orientasi pada kualitas dan integritas.
Para caleg harus memahami bahwa kepercayaan dan dukungan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang, melainkan harus diperoleh melalui dedikasi dan pengabdian yang tulus kepada masyarakat.
Kedua, partai politik harus memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan calon-calon potensial mereka.
Mereka harus melakukan seleksi yang ketat dan memberikan pelatihan yang intensif kepada para kader mereka, sehingga mereka dapat menjadi pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
Ketiga, kita sebagai pemilih juga harus memainkan peran kita dalam proses ini. Kita harus lebih kritis dalam memilih para caleg yang akan mewakili kita di parlemen, dan tidak hanya terpengaruh oleh janji-janji manis atau popularitas mereka.
Kita harus menuntut para caleg untuk menunjukkan komitmen dan dedikasi mereka kepada masyarakat, bukan hanya sekadar melalui baliho-baliho besar yang terpampang di jalanan.
Dengan demikian, Pemilu bukanlah sekadar ajang pesta demokrasi yang kosong dari makna, tetapi merupakan momen penting bagi kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari sistem politik kita.
Kita harus mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan memastikan bahwa demokrasi Indonesia benar-benar mewakili suara-suara rakyat yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H