Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Editor - Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melampaui Citra: Membedah Baliho Politik dan Substansi Gagasan

28 Januari 2024   21:19 Diperbarui: 29 Januari 2024   08:30 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi sering kali disertai dengan pemandangan baliho-baliho raksasa yang menjulang tinggi di sepanjang jalan raya.

Seakan baliho-baliho para politisi atau peserta pemilu menjadi simbol keriuhan politik, menandakan volatilitas dan intensitas persaingan antar calon.

Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa baliho-baliho tersebut lebih mirip album foto raksasa daripada wadah gagasan politik yang konkret.

Pemilihan umum seharusnya menjadi panggung pertukaran ide dan perdebatan, tetapi terkadang hanya berubah menjadi pertunjukan visual, di mana potret besar mendominasi sementara gagasan-gagasan kecil terbenam di baliknya.

Melihat baliho-baliho tersebut, kita sering disuguhkan wajah-wajah calon yang memandang tajam ke arah kita, sering kali didampingi oleh tagline yang terdengar indah di telinga.

Namun, seberapa jauh potret raksasa ini mencerminkan substansi ideologi dan tujuan para calon?

Lebih sering daripada tidak, kita disuguhkan gambaran kosong yang lebih menekankan pada kehadiran fisik dan pesona personal dibandingkan dengan visi politik yang konkret. 

Ini menciptakan paradoks menarik: bagaimana sesuatu yang seharusnya menjadi sarana penyampaian ide malah menjadi pemujaan karakter personal?

Mari kita telaah fenomena baliho politik dengan merinci elemen-elemen yang sering kali mendominasi, potret besar calon dan tagline bersahaja.

Potret besar tersebut memiliki tujuan jelas, menancapkan citra calon dalam benak pemilih.

Namun, dalam upaya untuk mencapai hal itu, apakah kita kehilangan substansi dan fokus pada wajah-wajah penuh senyuman?

Setiap pemilih berhak tahu lebih banyak tentang visi dan rencana konkrit calon daripada sekadar melihat senyum manis di atas baliho.

Tagline-tagline yang sering kali menemani potret besar tersebut sering kali bersifat umum dan tidak memberikan gambaran nyata tentang ideologi atau tujuan konkret calon.

"Moto dan mohon doa restu" menjadi bentuk tagline yang khas, mencerminkan ketidakjelasan dan ketidakkonkretan dalam menyampaikan pesan politik.

Seolah-olah, cukup dengan memiliki wajah yang menarik dan tagline yang simpatik, seorang calon diharapkan bisa memenangkan hati pemilih tanpa harus repot-repot menjelaskan rencana dan ide yang lebih rinci.

Ironisnya, banyak pemilih yang terjebak dalam pesona visual ini. Seiring munculnya media sosial, potret besar para calon tersebar lebih luas dan mencapai pemirsa yang lebih besar.

Pemilih pun cenderung lebih mengenali wajah-wajah para calon daripada memahami pemikiran politik mereka.

Dalam konteks ini, baliho politik tidak hanya menjadi alat kampanye, tetapi juga menjadi instrumen pembentukan opini publik yang tidak selalu didasarkan pada substansi politik.

Namun, apakah semua ini hanya kesalahan para calon ataukah kita juga sebagai pemilih yang harus bertanggung jawab atas pilihan kita? Mungkin sudah saatnya kita mengevaluasi pola pikir kita sebagai pemilih.

Apakah kita puas hanya dengan melihat wajah calon dan membaca tagline seadanya, ataukah kita memiliki tanggung jawab untuk menuntut lebih banyak lagi?

Dalam masyarakat demokratis, pemilih seharusnya bukan hanya konsumen visual, tetapi juga kritis terhadap informasi politik.

Bagaimana kita bisa membangun narasi politik yang lebih substansial dan bermakna? Kita perlu menggeser fokus dari visual semata menuju substansi.

Para calon perlu lebih berani menyampaikan gagasan dan rencana mereka secara terperinci, bukan hanya sekadar mengandalkan senyuman manis di foto besar. Ini juga mengharuskan kita sebagai pemilih untuk lebih menghargai dan menuntut informasi yang konkret dari calon yang bersangkutan.

Selain itu, media massa juga memiliki peran besar dalam membangun narasi politik yang berkualitas. Media harus mampu menyeimbangkan antara memberikan pemberitaan visual yang menarik dengan memberikan ruang yang cukup untuk ide dan gagasan calon.

Oleh karena itu, perlunya praktik jurnalisme yang mendalam dan bertanggung jawab menjadi kunci. Pemberitaan yang hanya sebatas pada visual tanpa merinci substansi politik hanya akan semakin merugikan pemilih dan mengubah proses demokrasi menjadi pesta populeritas semata.

Lebih jauh, pendidikan politik perlu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan pemilih yang cerdas. Pemilih yang paham akan isu-isu politik dan mampu menganalisis platform calon adalah pondasi dari demokrasi yang sehat.

Pendidikan politik tidak hanya berfokus pada mekanisme pemilihan umum, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang ideologi dan tujuan politik.

Terakhir, baliho politik yang tersebar di sepanjang jalan raya seharusnya bukan hanya sekadar kumpulan potret besar calon dan tagline bersahaja. Mereka harus menjadi media yang mampu menyampaikan gagasan dan tujuan politik secara nyata.

Pemilih juga harus mampu melihat lebih dari sekadar visual dan tagline, menuntut informasi yang konkret, dan mengambil peran aktif dalam membangun masyarakat yang berpolitik cerdas dan bertanggung jawab.

Dengan begitu, proses demokrasi tidak hanya akan menjadi spektakel visual semata, tetapi juga panggung nyata bagi pertukaran ide dan gagasan yang mampu membentuk masa depan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun