Apakah ini hanya sekadar kebijakan populis yang lahir dari hasrat politik untuk mencari simpati rakyat?
Ataukah ada benang merah yang menghubungkannya dengan kesungguhan pemerintah dalam menanggulangi masalah stunting?
Melihat kebijakan pemberian susu dan makan gratis dari sudut pandang kepopuleran, tak bisa dipungkiri bahwa langkah ini menjadi sebuah alat efektif untuk mendongkrak popularitas pemerintah.
Tapi, apakah popularitas semata-mata menjadi tujuan akhir? Di sisi lain, bisa jadi juga bahwa ini adalah refleksi dari kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Tentu, tak bisa kita abaikan fakta bahwa pemberian susu dan makan gratis ini telah meraih simpati dan dukungan rakyat.
Bukanlah rahasia lagi bahwa masyarakat kita seringkali lebih tertarik pada program kesejahteraan yang langsung terasa manfaatnya di dalam kehidupan sehari-hari.
Dan inilah titik di mana pertanyaan moral muncul. Apakah salah menggunakan strategi populis untuk memajukan kebijakan kesejahteraan?
Mari kita lanjutkan perjalanan kita menuju inti permasalahan, yaitu stunting. Angka-angka dan statistik yang berkeliaran di dalam laporan-laporan pemerintah menjadi saksi bisu atas kompleksitas tantangan ini.
Namun, apakah program susu dan makan gratis ini mampu menjawab panggilan darurat stunting, ataukah hanya menyelubungi permasalahan ini dengan bungkus berkilauan?
Sebuah studi mendalam terhadap dampak program ini pada tingkat stunting menjadi penting. Ada yang berpendapat bahwa pemberian makan dan susu gratis ini hanya menyembunyikan gejala, tanpa memberikan solusi nyata.
Mungkin saja ini hanya menjadi tembok pelindung yang menyamarkan kelemahan sistem kesehatan dan pola makan yang sebenarnya perlu diperbaiki.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya