Sedangkan, ketiadaan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dalam konsideran yang berpotensi melahirkan komunisme juga bentuk ketakutan semu. Ada atau tidaknya Tap MPRS ini sama sekali tidak berpotensi melahirkan kembali komunisme. Negara komunis di dunia ini sekarang itu tinggal satu yakni Korea Utara. Itu pun kalau dicermati lebih dalam, Korut sebenarnya lebih condong ke negara otoritarianisme dibandingkan komunis. Dan kalau mau jujur, konsep tentang keadilan sosial itu kan konsep sosialisme. Komunisme adalah pembakuan dari ajaran sosialisme. Bukankah kalau menerima keadilan sosial, sama dengan menerima sosialisme?Â
Artinya pada telaahan lebih dalam, Pancasila itu merupakan perkawinan dari kutub-kutub ideologi dunia. Konsep sosialisme kita terima namun di sisi lain kita mengakui prinsip Ketuhanan. PDIP sebagai partai yang telah dibesarkan dalam dialektika sejarah tentu sangat paham soal ini. PDIP sebagai pengusul RUU HIP juga tidak mungkin menafikan prinsip ketuhanan sebagai corak bangsa Indonesia. Jika PDIP berani melalukan hal itu, tentu akan ramai-ramai 'digebuk' seluruh anak bangsa. Ia juga mengkhianati marhaenisme sebagai sebagai ideologi partai yang sudah final dengan prinsip ketuhanan itu.Â
Lalu sebenarnya ada apa di balik ribut RUU HIP? Bagi saya, tools untuk membaca keributan dapat ditemukan dalam pemetaan aktor dan pemetaan isu penolakan yang mereka suarakan.Â
Memang harus jujur, bahwa pikiran-pikiran dan gagasan Bung Karno sangat nyata dalam RUU ini. Kita semua tahu bahwa spirit dan ajaran Bung Karno juga menjadi halauan utama PDIP. Dengan kata lain, jika RUU ini lolos pasti akan membesarkan nama PDIP.Â
Pertama, beberapa lawan politik PDIP merasa tak tega dengan kondisi ini, lalu berupaya mengganggu meski dengan argumentasi yang lemah.Â
Kedua, RUU ini akan memperkuat posisi Pancasila serta implementasinya. Gerakan penolakan dari kelompok radikalis agama sangat tampak di sana. Jika RUU ini lolos, maka akan menghambat kepentingan politik mereka.Â
Ketiga, ketakutan Oligarki. Jika RUU HIP disahkan, maka sudah tentu UU ini akan mengganggu kenyaman segelintir oligarki (baik oligarki politik maupun ekonomi) yang selama ini menguasai sumber daya negara. Prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sudah tentu menjadi batu sandungan bagi mereka. Â Lalu ketiga kepentingan ini (politik, radikalis agama dan oligarki) bertemu pada satu titik yang sama dan terciptalah kegaduhan.Â
Menurut saya, posisi rakyat sangat penting dalam polemik ini. Kita harus membaca dan memahami secara komperhensif agar tidak tersulut provokasi dan giringan opini yang tak sehat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H