Nasib Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) kini sudah memasuki tahap penetapan usul DPR. Namun gonjang-ganjing politik membuatnya jadi rumit dan serba pelik. Jika menyimak suara protes atas RUU ini, tidak salah kalau disimpulkan bahwa ada kecurigaan yang terlampau ekstrim, ada kekaburan makna bahkan ada ketakutan semu yang terselubung dalam riak-riak protes itu.
Padahal, kalau membaca secara keseluruhan isi RUU, nyaris tak ada yang janggal dalam setiap pasalnya, apalagi mengarah ke ideologi asing tertentu semisal komunisme-leninisme. Roh dari RUU ini juga sama sekali tidak menyinggung sekuliariasi Indonesia, di mana ada pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Lalu mengapa ribut? Point-point apa saja yang dipeributkan?
Garis Besar Kontroversi RUU HIP
Secara keseluruhan naskah RUU HIP terdiri dari 10 Bab yakni Ketentuan Umum, Haluan Ideologi Pancasila, Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan Keluarga, Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, Partisipasi Masyarakat, Pendanaan, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup.Â
Salah satu pertimbangan RUU ini yakni diperlukan kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat demi mewujudkan tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam ketentuan umum (Bab I), Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi cipta, rasa, karsa dan karya seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial.Â
Bab II menjelaskan tentang Haluan Ideologi Pancasila. Haluan Ideologi Pancasila terdiri atas: pokok-pokok pikiran dan fungsi Haluan Ideologi Pancasila; tujuan, sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila; Masyarakat Pancasila; dan Demokrasi Pancasila. Salah satu yang menuai kontroversi dari bab ini terdapat pada pasal 7 tentang Ciri Pokok Pancasila. Di sana dijelaskan sebagai berikut:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.Â
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.Â
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.Â
Menurut pandangan beberapa orang maupun kelompok, pasal ini justru mendistorsi Pancasila karena kembali lagi ke Pancasila 1 Juni saat Bung Karno menyampaikan pendapatnya tentang ideologi negara di hadapan BPUPKI. Â Ada pula yang menyoalkan term 'ketuhanan yang berkebudayaan' berpotensi mensekulariasikan Indonesia.
Selain itu, beberapa organisasi keagamaan juga menyoroti ketiadaan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dalam konsideran yang menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang dan larangan menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di Indonesia. Ketiadaan TAP MPRS inilah yang kemudian berkembang wacana akan lahir kembalinya Komunisme di Indonesia.
Tanggapan
Hemat saya, riak-riak protes terhadap RUU HIP sesungguhnya menggambarkan paranoid berlebihan tanpa didukungi oleh fakta-fakta sejarah. Pertama anggapan bahwa RUU ini bakal mendistorsi Pancasila sungguh tak berdasar. Kehadiran RUU HIP justru akan memperkuat penanaman  nilai-nilai Pancasila di tengah kemerosotan nilai dan amnesia sejarah yang sedang melanda bangsa Indonesia.Â
Maraknya prilaku korupsi, kesenjangan sosial yang menganga, perilaku amoral, dan gaya hidup hedonis serta individualistik, perlu dijawabi dalam kerangka UU yang menguatkan posisi Pancasila. Ketika belum dinyatakan dalam undang-undang khusus, keberadaan Pancasila serta implementasinya selama ini terkesan hanyalah pemanis bibir dan sangat normatif.Â
Untuk itulah mengapa Bab tentang Masyarakat Pancasila dibahas dalam RUU ini. Pasal 8 termaktub penjelasan tentang  tata Masyarakat Pancasila dan pasal 9 terkait Unsur Pokok Tata Masyarakat Pancasila. Selain itu terdapat Bab khusus yang mengatur tentang Pancasila sebagai Pedoman Pembangunan Nasional.
Demikian pun dalam pembangunan demokrasi, terdapat dua substansi penting yang dijelaskan di sana yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Paham ini memang buah gagasan Bung Karno. Bung Karno menyebutnya sosio-demokrasi.Â
"Dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu, maka nanti di seberangnya jembatan emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh rakyat sendiri. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi akan menjadikan suatu masyarakat tanpa kapitalisme dan imperialisme," tegasnya.Â
Singkat kata, sosio-demokrasi adalah demokrasi massa rakyat yang dikontrol oleh rakyat dan menjamin hak-hak warga negara. Dengan demikian, sosio-demokrasi berusaha menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Jika merefleksikan kehidupan berdemokrasi Indonesia saat ini, sesungguhnya penerapan nyata konsep ini dalam bentuk UU, sangat relevan di tengah kehilangan arah dan kekaburan substansi demokrasi Indonesia. Akar persoalannya  yakni demokrasi politik yang sebatas prosedural (as if democracy) dan demokrasi ekonomi yang mengangkangi prinsip keadilan sosial sehingga terjadi kesenjangan sosial yang sangat akut di negeri ini.Â
Di tengah kemiskinan, praktek demokrasi justru melahirkan demokrasi-oligarki. Kemiskinan rakyat malah menjadi berkah bagi politisi opurtunis untuk membeli suara rakyat. Roda demokrasi pun dikuasai oleh segelintir orang serta luput dari partisipasi dan kontrol rakyat.
Untuk itu, pada pasal 14 ditegaskan: Demokrasi Politik Pancasila menguatkan partisipasi politik masyarakat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, dengan didukung oleh fungsi dan peran partai politik secara efektif, serta kontrol sosial masyarakat yang semakin luas.Â
Pasal 15 menegaskan, Demokrasi Ekonomi Pancasila merupakan perwujudan dari perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.Â
Hemat saya, point ini sangat penting karena tanpa keseimbangan demokrasi politik dan ekonomi, mustahil bagi Indonesia untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Selama penerapan demokrasi itu masih mengambang, tanpa arah yang jelas, maka demokrasi Indonesia akan terus memperkuat sistem oligarki dan kleptokrasi seperti yang marak terjadi selama ini.Â
Pihak yang menyoalkan term ketuhanan yang berkebudayaan pun sebenarnya kurang memahami ucapan Bung Karno. Ia menjelaskan  "Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,  tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri." Bung Karno menegaskan bahwa yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang beragama Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, dan orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab agamanya.
Bung Karno melanjutkan, "Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!"Â
Menurut saya, penjelasan ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan sekuliariasi Indonesia seperti yang dituduhkan. Bung Karno malah menekankan prinsip Ketuhanan yang dianut, tidak boleh melecehkan keberagaman keyakinan di Indonesia. Tidak boleh ada egoisme agama yang menempatkan orang dengan agama lain di bawah agama tertentu. Apanya yang salah?Â
Rumus 5-3-1
Di hadapam forum sidang BPUPKI, Bung Karno juga menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia. Pidato tersebut kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila.
Pada kesempatan itu, Sukarno menawarkan lima sila sebagai dasar negara yakni: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan yang terakhir, Ketuhanan. Lima sila itu ia namai Pancasila.
Sukarno kemudian menawarkan lagi, "Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Tiga sila itu yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Dan jika ingin satu sila, maka tiga sila tersebut jika diperas menjadi satu kata yakni gotong-royong."
Pada dasarnya tawaran Bung Karno ini bersifat usulan, bisa diterima dan tentu bisa diperdebatkan. Namun substansi yang ingin ia sampaikan adalah rumus 5-3-1 Pancasila merupakan satu kesatuan utuh dan tidak boleh dibaca terpisah. Artinya Lima terkandung dalam Tiga, Tiga terkandung dalam satu, dan Lima terkandung dalam satu yakni gotong rotong (ekasila). Jadi sebenarnya rumus ini bukan mendistorsi Pancasila sebagaimana yang dipersoalkan.Â
Sedangkan, ketiadaan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dalam konsideran yang berpotensi melahirkan komunisme juga bentuk ketakutan semu. Ada atau tidaknya Tap MPRS ini sama sekali tidak berpotensi melahirkan kembali komunisme. Negara komunis di dunia ini sekarang itu tinggal satu yakni Korea Utara. Itu pun kalau dicermati lebih dalam, Korut sebenarnya lebih condong ke negara otoritarianisme dibandingkan komunis. Dan kalau mau jujur, konsep tentang keadilan sosial itu kan konsep sosialisme. Komunisme adalah pembakuan dari ajaran sosialisme. Bukankah kalau menerima keadilan sosial, sama dengan menerima sosialisme?Â
Artinya pada telaahan lebih dalam, Pancasila itu merupakan perkawinan dari kutub-kutub ideologi dunia. Konsep sosialisme kita terima namun di sisi lain kita mengakui prinsip Ketuhanan. PDIP sebagai partai yang telah dibesarkan dalam dialektika sejarah tentu sangat paham soal ini. PDIP sebagai pengusul RUU HIP juga tidak mungkin menafikan prinsip ketuhanan sebagai corak bangsa Indonesia. Jika PDIP berani melalukan hal itu, tentu akan ramai-ramai 'digebuk' seluruh anak bangsa. Ia juga mengkhianati marhaenisme sebagai sebagai ideologi partai yang sudah final dengan prinsip ketuhanan itu.Â
Lalu sebenarnya ada apa di balik ribut RUU HIP? Bagi saya, tools untuk membaca keributan dapat ditemukan dalam pemetaan aktor dan pemetaan isu penolakan yang mereka suarakan.Â
Memang harus jujur, bahwa pikiran-pikiran dan gagasan Bung Karno sangat nyata dalam RUU ini. Kita semua tahu bahwa spirit dan ajaran Bung Karno juga menjadi halauan utama PDIP. Dengan kata lain, jika RUU ini lolos pasti akan membesarkan nama PDIP.Â
Pertama, beberapa lawan politik PDIP merasa tak tega dengan kondisi ini, lalu berupaya mengganggu meski dengan argumentasi yang lemah.Â
Kedua, RUU ini akan memperkuat posisi Pancasila serta implementasinya. Gerakan penolakan dari kelompok radikalis agama sangat tampak di sana. Jika RUU ini lolos, maka akan menghambat kepentingan politik mereka.Â
Ketiga, ketakutan Oligarki. Jika RUU HIP disahkan, maka sudah tentu UU ini akan mengganggu kenyaman segelintir oligarki (baik oligarki politik maupun ekonomi) yang selama ini menguasai sumber daya negara. Prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sudah tentu menjadi batu sandungan bagi mereka. Â Lalu ketiga kepentingan ini (politik, radikalis agama dan oligarki) bertemu pada satu titik yang sama dan terciptalah kegaduhan.Â
Menurut saya, posisi rakyat sangat penting dalam polemik ini. Kita harus membaca dan memahami secara komperhensif agar tidak tersulut provokasi dan giringan opini yang tak sehat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H